Selimut Yang Mengantar Ke Neraka, Inspirasi dari Buku “Agama Mengajarkan AntiKorupsi

Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur

PERANG sudah usai. Debu masih beterbangan, darah masih terlihat membasahi tanah berpasir. Rasulullah SAW dan Kaum Muslim baru saja menyelesaikan jihad dalam peperangan melawan kaum kafir.

Para sahabat mulai berkumpul dengan luka, dengan rasa lelah, namun juga dengan rasa Syukur karena peperangan dimenangkan oleh kaum Islam. Di antara mereka ada seorang pejuang yang gugur.

Seperti biasanya, terhadap pasukan Muslim yang gugur dalam peperangan, selalu dihormati sebagai pahlawan jihad fisabilillah. Para sahabatpun pun berbisik: betapa beruntungnya dia. Mati syahid. Surga sudah menunggunya.

Namun betapa kagetnya para sahabat Ketika Rasulullah menghentikan anggapan itu. Beliau berkata tegas, “Tidak. Selimut yang ia ambil sebelum pembagian rampasan perang itu akan menjadi api neraka yang membakarnya.”

Ternyata, sebelum ajal menjemput, si fulan sempat mengambil sehelai selimut dari harta rampasan. Ia tidak menunggu aturan pembagian. Ia simpan diam-diam. Sebuah tindakan kecil, tetapi itulah ghulul—pengkhianatan terhadap amanah.

Kisah ini mengandung pelajaran mendasar: korupsi bukan soal jumlah. Juga bukan soal hitungan besar atau kecil, miliaran atau recehan. Tetapi soal moral. Soal kejujuran. Soal amanah.

Al-Qur’an menegaskan, “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian harta orang lain dengan cara dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188).

Hadis juga memperingatkan keras. Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang kami angkat sebagai petugas, lalu ia menyembunyikan jarum atau lebih, maka itu adalah ghulul, dan ia akan datang pada hari kiamat dengan membawanya.” (HR. Muslim).

Pesannya jelas: sekecil apa pun kecurangan, itu tetaplah pengkhianatan. Dan konsekuensinya sangat berat, bukan hanya di dunia tetapi juga di akhirat.

Kini, mari kita bandingkan dengan realitas kita. Indonesia masih bergulat dengan kasus-kasus korupsi. Bukan lagi sehelai selimut, tetapi sudah soal triliunan rupiah. Bukan lagi menyangkut seorang prajurit, tetapi menyangkut nasib jutaan rakyat yang terampas haknya.

Infrastruktur terbengkalai, pelayanan publik terhambat, generasi muda kehilangan kesempatan, semuanya akibat praktik korupsi yang masih merajalela.

Di sisi lain, masyarakat kita terkadang masih menoleransi kecurangan kecil. “Hanya uang rokok.” “Sekadar biaya administrasi.” Padahal justru dari yang kecil itulah budaya korupsi tumbuh.

Kisah sahabat yang “kehilangan syahidnya karena selimut” tadi seharusnya cukup menjadi peringatan: jangan sepelekan perbuatan kecil yang tidak halal.

Islam sudah menegaskan garis batas. Korupsi adalah pengkhianatan, dan pengkhianatan adalah dosa besar. Merusak sendi keadilan, menghancurkan kepercayaan, dan menutup pintu keberkahan. Sebab itu, pemberantasan korupsi tidak bisa semata-mata mengandalkan hukum positif. Tapi harus ditopang oleh kesadaran moral, kesadaran iman, dan komitmen spiritual.

Bayangkan jika nilai-nilai Islam benar-benar menjadi pedoman dalam kehidupan publik: pejabat yang amanah, birokrasi yang bersih, bisnis yang berkeadilan, serta masyarakat yang menolak kecurangan sekecil apa pun. Pasti Indonesia akan lebih beradab, lebih maju, dan lebih bermartabat.

Refleksi Jumat ini mengingatkan kita bahwa korupsi bukan hanya urusan hukum, tetapi juga urusan iman. Bukan sekadar perkara pasal, tetapi soal keselamatan di akhirat.

Mari kita mulai dari diri sendiri. Tidak mengambil hak yang bukan milik kita, tidak memanfaatkan jabatan untuk keuntungan pribadi, tidak menutup mata terhadap praktik curang di sekitar kita. Sebab bangsa yang besar dibangun oleh warganya yang berani menolak “selimut kecil” untuk kepentingan pribadi, demi menjaga amanah yang lebih besar.

Islam telah menunjukkan jalan. Tinggal kita yang menentukan: apakah memilih jalan amanah yang membawa berkah, atau jalan pengkhianatan yang berujung pada kerugian abadi. (Bersambung).

 

Editor : Alim Perdana