Arah Baru RUU Perubahan UU Haji dan Umrah, Untuk Siapa dan Menuju ke Mana?

Oleh: Ulul Albab
Ketua Bidang Litbang DPP AMPHURI

“Pelayanan ibadah itu tidak cukup dengan niat baik negara saja. Tetapi harus juga ditopang dengan regulasi yang adil, kolaboratif, dan berpihak pada jamaah serta pelaku yang berhidmat di lapangan.”

SEBAGAIMANA kita ketahui bersama bahswa saat ini pemerintah tengah menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.

Draf awal dari RUU ini telah beredar luas di lingkungan para pemangku kepentingan, khususnya asosiasi penyelenggara haji dan umrah seperti AMPHURI, HIMPUH, dan lainnya.

Maka menjadi kewajiban kita, terutama PPIU/PIHK, untuk turut aktif berpartisipasi mengawalnya agar RUU ini sesuai dengan “Note di atas”.

Di atas kertas, niat negara merevisi UU ini adalah untuk memperkuat tata kelola dan meningkatkan kualitas pelayanan.

Tapi seperti semua regulasi publik, pertanyaan kuncinya bukan hanya tentang apa yang ingin diperbaiki, tetapi juga soal bagaimana caranya, siapa yang dilibatkan, dan apa dampaknya bagi pihak-pihak yang selama ini sudah bekerja keras berhidmat melayani jamaah.

Mencermati Urgensi Revisi: Apa Yang Ingin Diubah Oleh Negara?

Setidaknya ada empat argumen utama yang melatar belakangi munculnya rencana perubahan ini, yaitu:

1. Penguatan Peran BPKH sebagai pengelola dana haji, tidak hanya dari sisi keuangan, tetapi juga distribusi manfaat, investasi syariah, hingga kolaborasi dalam penyediaan layanan.

2. Reposisi Peran Kementerian Agama: dari operator teknis menjadi regulator murni, seiring rencana pembentukan kementerian khusus haji dan umrah.

3. Perluasan Badan Pelaksana: dengan memberi ruang lebih bagi BUMN, BLU, dan kerja sama internasional yang bisa berdampak pada pelaku swasta domestik.

4. Perluasan Partisipasi dan Standardisasi Layanan, termasuk melalui sertifikasi, akreditasi KBIHU, serta penguatan sistem pelaporan dan pengawasan digital.

Mencermati Isu Kunci: Jalan Berliku Menuju “Reformasi Layanan Ibadah”

Jika kita tinjau secara kritis, RUU ini menyentuh banyak aspek strategis. Tetapi pada saat yang sama RUU ini menyimpan potensi problematika baru. Beberapa di antaranya meliputi:

• Ketimpangan perlakuan hukum antara penyelenggara resmi (PIHK/PPIU) dan pelaku umrah mandiri.

• Kemungkinan terjadinya sentralisasi ekstrem, terutama jika kewenangan terlalu ditarik ke pusat dan ke tangan satu kementerian baru.

• Ancaman marginalisasi terhadap pelaku usaha kecil dan koperasi, terutama jika ekosistem layanan hanya didistribusikan pada entitas besar atau milik negara.

• Minimnya pengakuan struktural terhadap asosiasi seperti AMPHURI, padahal merekalah garda depan pelayanan jamaah yang telah terbukti puluhan tahun.

Beberapa Pertanyaan untuk Bahan Diskusi Publik

RUU ini akan sangat menentukan masa depan penyelenggaraan ibadah haji dan umrah di Indonesia. Maka sangat wajar jika kita semua, sebagai bagian dari masyarakat sipil, bertanya:

• Apakah revisi ini akan memperbaiki layanan atau justru menambah birokrasi?

• Bagaimana posisi PIHK/PPIU ke depan dalam lanskap layanan ibadah yang dikuasai entitas negara?

• Apa jaminan agar BPKH tetap akuntabel dan terbuka, terutama dalam hal distribusi manfaat kepada jamaah?

• Apakah negara akan tetap menjadi fasilitator atau justru berubah menjadi pelaku dominan?

• Di mana ruang partisipasi asosiasi dan pelaku usaha agar suara mereka tak sekadar menjadi pelengkap?

Saatnya Mendorong Kolaborasi, Bukan Monopoli

RUU ini tidak bisa dibahas terburu-buru, apalagi dalam ruang tertutup. Karena hal ini menyangkut ibadah jutaan rakyat Indonesia, menyangkut keadilan bagi pelaku usaha, dan menyangkut marwah pelayanan publik yang seharusnya makin terbuka, transparan, dan inklusif.

Sudah saatnya negara hadir bukan sebagai satu-satunya pelaku, tetapi sebagai pembuka ruang partisipasi. Karena pelayanan ibadah sejatinya adalah kerja kolaboratif antara negara, masyarakat, dan para profesional di lapangan.

Wallahu a’lam.
Artikel ini merupakan bagian (1) dari serial edukatif
untuk menyambut diskusi publik nasional seputar revisi UU Haji dan Umrah. Tulisan berikutnya akan membahas isu peran BPKH dan tantangan
regulasi perlindungan jamaah di era digital.

 

Editor : Alim Perdana