Oleh: Ulul Albab
Akademisi, Penguji Disertasi FIA-UB, dan Ketua ICMI Jawa Timur
RABU 9 Juli 2025 kemaren menjadi momen yang penuh makna bagi saya sebagai akademisi sekaligus Ketua ICMI Orwil Jawa Timur.
Saya mendapat kehormatan menjadi bagian dari forum ilmiah yang luar biasa: ujian akhir disertasi promovendus Ardie Kurniawan di Program Doktor Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Administrasi (FIA), Universitas Brawijaya.
Saya berharap kehadiran saya semoga bukan sekadar sebagai penguji, tetapi sebagai bagian dari upaya kolektif antar perguruan tinggi dalam membangun kualitas keilmuan dan pemikiran strategis untuk negeri.
Disertasi Ardie yang berjudul “Silo Mentality dalam Perencanaan Pembangunan Daerah dengan Pendekatan Network Governance: Studi RKPD di Kabupaten Pasuruan” merupakan refleksi atas kenyataan yang jamak kita temui dalam birokrasi, yaitu: masih kokohnya sekat sektoral antar-perangkat daerah.
Disertasi ini menawarkan pembacaan atas problem tersebut melalui lensa network governance, suatu pendekatan yang menekankan pada jejaring kolaboratif antar-aktor dalam pengambilan keputusan dan formulasi kebijakan.
Mengurai "Silo Mentality" dalam Birokrasi
Silo mentality bukan istilah baru dalam literatur manajemen dan administrasi publik. Istilah ini merujuk pada kecenderungan unit atau lembaga dalam organisasi untuk bekerja secara tertutup, ego sektoral yang tinggi, dan minim koordinasi lintas bagian.
Dalam konteks pemerintahan daerah, gejala ini tercermin dalam lemahnya integrasi program antar-dinas, sulitnya menyinergikan prioritas pembangunan, hingga rendahnya representasi aspirasi masyarakat dalam dokumen RKPD.
Secara teoritis, fenomena ini dapat dilacak dari warisan model birokrasi klasik (Weber, 1922) yang menekankan hierarki dan spesialisasi.
Selain itu, konsep bounded rationality dari Herbert Simon (1957) juga menjelaskan bahwa aktor birokrasi memiliki keterbatasan informasi dan kapasitas koordinasi, sehingga cenderung bekerja dalam zona nyaman dan terisolasi.
Budaya organisasi yang tidak mendorong kolaborasi turut memperkuat mentalitas silo ini. Maka mengambil tema ini tentu akan punya makna dalam mereformasi birokrasi pemerintah.
Menimbang Pendekatan "Network Governance"
Dalam konteks ini, Ardie menawarkan network governance (Rhodes, 1997) sebagai jawaban. Pendekatan ini menekankan pentingnya jejaring, kolaborasi, dan interdependensi aktor.
Namun perlu didorong untuk mengekspolrasi lenbih jauh, sejauh mana pendekatan ini realistis diterapkan dalam kultur birokrasi daerah kita yang masih sangat hirarkis?
Literatur seperti Skelcher (2005) menyarankan adanya hybrid governance, sintesis antara logika jejaring, hirarki, dan insentif birokrasi.
Pendekatan hibrida ini lebih aplikatif, karena tidak hanya menuntut kolaborasi horizontal, tetapi juga didukung struktur vertikal yang kuat dan regulasi yang tepat.
Rekomendasi: Dari Narasi ke Aksi
Salah satu kekuatan disertasi ini adalah keberaniannya mengangkat isu teknokratis dengan cara yang reflektif. Namun, rekomendasi seperti optimalisasi SIPD dan forum kolaborasi masih bersifat umum.
Dalam praktik kebijakan, sebagaimana disampaikan Howlett (2011), diperlukan perincian dalam bentuk desain kebijakan, yang meliputi: siapa pelaksananya, apa indikator keberhasilan, dan bagaimana evaluasinya.
Lebih jauh, menghadapi silo mentality sebetulnya bukan hanya soal teknis koordinasi, tetapi menyangkut insentif, legitimasi, dan reformasi budaya kerja.
Model whole-of-government dari Christensen & Lægreid (2007) menawarkan pendekatan sistemik untuk mengurai fragmentasi birokrasi.
Catatan Penutup dan Apresiasi
Disertasi ini menyumbang perspektif penting dalam kajian administrasi publik, terutama dalam konteks Indonesia khususnya dalam konsep desentralisasi. Disertasi ini mengajak kita menatap ulang bagaimana proses perencanaan daerah semestinya dikelola secara inklusif dan kolaboratif.
Saya menyampaikan penghargaan kepada Ardie Kurniawan, promovendus yang telah menyelesaikan karya ilmiahnya dengan tekun.
Latar belakangnya dalam bidang perencanaan wilayah memberi kedalaman praktis yang tajam. Semoga karya ini menjadi kontribusi berkelanjutan bagi birokrasi yang lebih efektif dan responsif.
Tak lupa, saya menyampaikan apresiasi mendalam kepada seluruh tim penguji yang telah menghadirkan atmosfer diskusi yang hangat, akademik, sekaligus penuh wibawa.
Forum ini tak hanya menjadi ajang ujian ilmiah, tetapi ruang silaturahmi gagasan antar pemikir administrasi publik lintas generasi. Bahkan lintas instansi
Saya merasa terhormat bisa berdiskusi bersama para tokoh yang sangat saya hormati:
• Prof. Dr. Hamidah Nayati Utami, S.Sos., M.Si., selaku Ketua Sidang yang juga Dekan FIA
UB, yang kepemimpinannya menjadikan sidang terasa tertib namun tetap hangat.
• Prof. Dr. Choirul Saleh, M.Si. sebagai promotor utama yang menuntun perjalanan intelektual promovendus dengan telaten.
• Prof. Dr. M. R. Khairul Muluk, M.Si. dan Dr. Mohammad Nuh, S.IP., M.Si., dua ko-promotor yang pemikirannya tajam namun selalu membumi.
• Lalu para penguji senior dan sejawat yang saya hormati: Prof. Dr. Agus Suryono, MS, Dr. Siti Rochmah, M.Si., Dr. Lely Indah Mindarti, M.Si., Prof. Drs. Andy Fefta Wijaya, MDA., Ph.D., dan Prof. Dr. H. Jusuf Irianto, Drs., M.Com.
Dan tentu, saya sendiri, yang merasa beruntung bisa menjadi bagian dari forum ini. Terlibat dalam diskusi semacam ini, selain memperkaya perspektif, juga memperdalam cinta saya terhadap kampus tercinta: Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya.
Bagi saya, forum ini bukan cuma tentang promosi doktor, tetapi tentang bagaimana ilmu dapat menjadi suluh perubahan birokrasi daerah ke depan. FIA UB sekali lagi membuktikan dirinya sebagai rumah bagi gagasan yang bernas dan solutif.
Editor : Alim Perdana