Sensus Sampah Plastik Ungkap Lima Produsen Pencemar Terbesar di Indonesia

BRUIN berharap sensus ini mendorong aksi nyata untuk mengatasi krisis polusi plastik di Indonesia. Foto: Ayojatim
BRUIN berharap sensus ini mendorong aksi nyata untuk mengatasi krisis polusi plastik di Indonesia. Foto: Ayojatim

SURABAYA – Badan Riset Urusan Sungai Nusantara (BRUIN) merilis hasil riset Sensus Sampah Plastik, sebuah audit komprehensif yang mengungkapkan kondisi memprihatinkan pencemaran sampah plastik di perairan Indonesia.

Riset yang berlangsung selama tiga tahun (2022-2024) melibatkan 156 mitra dan 976 relawan, mengumpulkan 76.899 sampah plastik dari 92 titik lokasi di 30 provinsi.

Hasil sensus menunjukkan tidak ada satu pun sungai yang bebas dari sampah plastik, jauh dari standar yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021.

"BRUIN mengambil sampel di 35 sungai, 17 pantai, dan 2 titik mangrove. Hasilnya mengejutkan; pencemaran sudah sangat mengkhawatirkan," ungkap Muhammad Kholid Basyaiban, Koordinator Sensus Sampah Plastik BRUIN, Kamis (26/6).

Riset ini mengidentifikasi lima produsen yang berkontribusi terbesar terhadap pencemaran plastik. Pertama, Unbranded (23%). Didominasi kemasan tanpa merek seperti kantong plastik, styrofoam, dan sedotan.

Kedua, Wings (11%). Kemasan sachet (Soklin, Sedaap, dsb.) dan botol minuman (Ale-ale, Teh Rio, dsb.). Ketiga, Indofood (9%). Kemasan sachet (Indomie, Sarimie, dsb.), botol minuman (Club), dan styrofoam (Pop Mie).

Selanjutnya Mayora (7%). Botol minuman (Le Minerale, Teh Pucuk Harum), dan kemasan sachet (Roma, Energen, dsb.). Kemudian Unilever (6%). Kemasan sachet (Royco, Rinso, dsb.).

Sementara itu, lima merek kemasan plastik yang paling banyak ditemukan adalah Club (Indofood), Indomie (Indofood), Le Minerale (Mayora), Soklin (Wings), dan Teh Pucuk Harum (Mayora).

Prigi Arisandi, aktivis lingkungan dan founder ECOTON Foundation, menegaskan dampak serius pencemaran ini. "Sampah kemasan pascakonsumsi mencemari perairan, mengancam ekosistem, dan memperburuk dampak perubahan iklim lewat mikroplastik dan polutan berbahaya lainnya," tegasnya.

BRUIN mendesak produsen untuk mengambil tanggung jawab nyata dalam mengelola sampah kemasan pascakonsumsi dan mendukung target pengurangan sampah 30% pada 2029.

Hal ini sejalan dengan pernyataan Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, yang mendorong industri lokal dalam pengelolaan limbah dan penerapan EPR (Extended Producer Responsibility) dengan sanksi tegas.

Dr. Susi Agustina Wilujeng, ST., MT., Kepala Departemen Teknik Lingkungan ITS Surabaya, menegaskan jngan hanya bergantung pada perubahan perilaku konsumen. "Kebijakan tegas yang memaksa produsen bertanggung jawab sangat penting," tegasnya.

Aeshnina Azzahra Aqilani dari River Warrior Indonesia mengkritik inefektivitas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75/2019, yang dinilai hanya mengubah kapasitas produk tanpa larangan ketat penggunaan plastik sekali pakai.

Rekomendasi Kebijakan

Buku "SENSUS SAMPAH PLASTIK: MENGUNGKAP FAKTA, MENGGERAKKAN AKSI" yang diluncurkan bersamaan dengan konferensi pers ini, memberikan rekomendasi kebijakan, antara lain:

1. Pembatasan plastik sekali pakai yang sulit didaur ulang (seperti sachet).

2. Kebijakan guna ulang (reuse movement).

3. Disinsentif pajak terhadap produk plastik sekali pakai yang sulit didaur ulang.

4. Insentif untuk pengelolaan plastik berkelanjutan.

5. Green procurement oleh pemerintah dan industri.

6. Implementasi EPR secara tegas dan menyeluruh.

BRUIN berharap sensus ini mendorong aksi nyata untuk mengatasi krisis polusi plastik di Indonesia. Perang melawan polusi plastik, kata Kholid, harus dimulai sekarang.

Editor : Alim Perdana