Mengantisipasi Penyelenggaraan Haji 2026, Peluang dan Tanggung Jawab Strategis Indonesia

Oleh: Ulul Albab
Kabid Litbang DPP Amphuri
Ketua ICMI Jawa Timur


BERITA yang paling menyita perhatian umat Islam Indonesia belakangan ini adalah kabar menggembirakan bahwa Arab Saudi membatalkan wacana pemangkasan kuota haji Indonesia hingga 50 persen.

Badan Penyelenggara Haji (BPH) memastikan bahwa Pemerintah Arab Saudi telah mengurungkan rencana tersebut, meskipun sebelumnya wacana itu sempat muncul sebagai bentuk evaluasi keras atas pelaksanaan haji Indonesia tahun ini yang dinilai belum tertib dan profesional.

Namun pembatalan ini bukan tanpa alasan. Pemerintah Arab Saudi menunjukkan sikap terbuka dan memberi ruang perbaikan, dengan mempertimbangkan komitmen Indonesia untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan haji melalui pembentukan lembaga baru, yakni Badan Penyelenggara Haji.

Harapan pun tumbuh bahwa dengan pengelolaan yang lebih fokus dan profesional, pelayanan jemaah haji Indonesia tahun depan akan lebih baik, tertib, dan sesuai dengan standar internasional.

Keputusan Pemerintah Arab Saudi membatalkan wacana pemangkasan kuota haji Indonesia hingga 50 persen untuk tahun 2026 adalah kabar baik sekaligus peringatan serius.

Meskipun dibatalkan, sinyal evaluatif yang dilontarkan pihak Saudi menunjukkan bahwa penyelenggaraan haji 2025 dinilai memiliki banyak kelemahan mendasar.

Di balik keputusan tersebut, tersimpan pelajaran berharga tentang pentingnya reformasi internal, diplomasi yang efektif, dan peningkatan kualitas pelayanan haji secara menyeluruh.

Mengapa Wacana Itu Muncul?

Menurut pernyataan resmi dari Wakil Kepala BP Haji, Dahnil Anzar Simanjuntak, wacana pemotongan kuota muncul sebagai warning akibat buruknya penyelenggaraan haji tahun ini.

Artinya, kritik dari Arab Saudi bukan sekadar isapan jempol, tetapi bentuk evaluasi atas kinerja Indonesia dalam manajemen jemaah.

Beberapa kemungkinan penyebab buruknya penilaian tersebut mencakup:

1. Keterlambatan pelayanan logistik dan akomodasi di tanah suci;

2. Manajemen kloter dan layanan transportasi yang tidak efisien;

3. Masih adanya jemaah lansia atau berisiko tinggi tanpa mitigasi memadai;
Kualitas petugas haji yang belum merata;

4. Koordinasi antarlembaga yang lemah dalam penanganan situasi darurat.

Apa yang Harus Dilakukan Indonesia?

Meski kuota tidak dipotong, Indonesia tidak bisa lengah. Berikut beberapa langkah konkret yang perlu dipersiapkan mulai sekarang:

1. Audit Total Penyelenggaraan Haji 2025

Evaluasi internal menyeluruh oleh BP Haji, termasuk keterlibatan mitra swasta dan Kemenkes.

2. Libatkan lembaga independen atau akademisi dalam penilaian objektif.

5. Peningkatan Kapasitas dan Kompetensi Petugas Haji

6. Perekrutan berbasis kompetensi dan integritas.

7. Pelatihan intensif dengan simulasi lapangan dan pendekatan spiritual-psikologis.

Penguatan Diplomasi Haji

BP Haji perlu mengintensifkan komunikasi dengan Kementerian Haji Saudi secara berkala, bukan hanya menjelang musim haji.

Perlu diciptakan saluran diplomatik yang berbasis kepercayaan dan data.

Optimalisasi Sistem Informasi dan Digitalisasi Layanan

Maksimalkan aplikasi digital untuk pelaporan layanan, pemantauan kesehatan jemaah, dan komunikasi antar tim.

Integrasikan sistem e-Hajj nasional dengan Nusuk milik Arab Saudi secara real-time.

Perbaikan Manajemen Kuota dan Kloter

Distribusi kloter harus memperhatikan usia dan kondisi kesehatan jemaah.
Simulasi keberangkatan dan pemulangan harus dilakukan lebih awal dan terencana.

Momentum Konsolidasi Nasional
Pemerintah Indonesia melalui pembentukan BP Haji menunjukkan komitmen kuat untuk memperbaiki tata kelola haji. Namun, langkah ini harus diiringi dengan:

Kejelasan tupoksi antara BP Haji dan Kementerian Agama,

Transparansi dalam pengadaan dan pelayanan,

Partisipasi publik dan ormas Islam dalam pengawasan.

Haji Sebagai Diplomasi Umat dan Martabat Bangsa

Yang patut menjadi catatan tebal adalah, bahwa pelayanan dan tata kelola Haji adalah cermin kapasitas negara dalam melayani rakyatnya. Ancaman pengurangan kuota adalah cermin dari ketidakpuasan mitra strategis (Arab Saudi) terhadap kita.

Maka, pembenahan manajemen haji bukan hanya tugas teknis, melainkan bagian dari strategi diplomasi, pelayanan umat, dan martabat nasional.

Ke depan, kita, Indonesia bukan hanya harus mempertahankan kuota, tetapi juga harus mampu menunjukkan diri sebagai model pengelolaan haji terbaik di dunia Islam.

Inilah tantangan besar yang mesti dipikir dan dilakukan secara bersama, sinergi dan kolaborasi antar berbagai elemen yang terkait penyelenggaraan haji.

Mulai dari pemerintah, dalam hal ini BPH itu sendiri, regulator yang dalam hal ini adalah kemenag, hingga asosiasi-asosiasi penyelenggara haji yang ada.

Maka PR kita sekarang dan segera harus mulai dikerjakan adalah merancang dan mempersiapkan konsep perbaikan, reformasi dan transformasi yang lebih rapih, terukur, dan inklusif.

Diplomasi haji dengan pemerintah Arab Saudi tidak aka nada artinya jika persiapak pelaksanaanya tidak professional.

Editor : Alim Perdana