Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur,
Ketua Litbang DPP Amphuri, Akademisi Unitomo,
Pembina Yayasan Masjid Subulussalam
MOMEN agung Idul Adha tak bisa dilepaskan dari satu narasi monumental: perintah Allah kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya, Ismail. Sebuah kisah agung yang diabadikan dalam Islam sebagai Idul Adha. Kisah yangh mencerminkan pendidikan keimanan dalam level tertinggi antara ayah, anak, dan Tuhannya.
"Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar."
(QS. As-Saffat: 102)
Ayat ini menggambarkan peristiwa besar yang tidak hanya menyentuh logika, tetapi mengguncang psikologi siapa pun yang membacanya.
Bagaimana mungkin seorang ayah yang dalam waktu lama merindukan punya anak, lalu ketika sang anak yang dinanti-nantikan dan sangat disayang itu lahir dan tumbuh menjadi remaja yang manis, tiba-tiba diperintahkan untuk menyembelihnya? Dan bagaimana mungkin seorang anak menyambut perintah itu dengan ketundukan tanpa ragu?
Berapa Usia Ismail Saat Itu?
Dalam banyak tafsir, para ulama berbeda pendapat tentang usia Ismail saat peristiwa ini terjadi. Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur'an al-‘Azhim menyebut bahwa Ismail telah mencapai usia “baligh ringan” atau mendekati dewasa, cukup untuk berjalan dan berpikir secara matang (Ibnu Katsir, Tafsir, QS. As-Saffat: 102).
Pendapat lain menyebutkan bahwa Ismail berusia sekitar 13–15 tahun, usia di mana seorang anak laki-laki sudah bisa diajak berdialog dan mengambil keputusan dengan kesadaran spiritual.
Inilah yang menarik: Ismail bukan anak kecil polos yang sekadar menuruti ayahnya. Saat itu Ismail adalah remaja yang sadar, penuh kesadaran iman, dan memilih taat bukan karena takut, tapi karena yakin.
Sosiologi Sebuah Pengorbanan
Mari kita bayangkan latar sosial dan psikologis kejadian ini. Nabi Ibrahim bukan ayah biasa. Beliau tinggal di tanah yang jauh dari kampung halaman, bersama istri dan anaknya yang selama bertahun-tahun ia tunggu kehadirannya. Dalam konteks hari ini, ini ibarat keluarga perantau dengan anak semata wayang.
Ketika datang perintah itu, dalam bentuk mimpi yang berulang (tiga malam berturut-turut menurut riwayat), Nabi Ibrahim tahu itu adalah wahyu. Tapi beliau tidak langsung mengeksekusinya. Beliau mengajak anaknya berdialog, memperlihatkan wajah parenting profetik yang penuh hikmah, bukan kekuasaan.
“Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu.” (QS. As-Saffat: 102). Inilah inti dialog yang disampaikan Nabi Ibrahim kepada anaknya Ismail, yang diabadikan secara indah dalam al-qur’an.
Bagi sosiolog kontemporer seperti Zygmunt Bauman, dialog dan relasi keluarga adalah titik kunci dalam membangun kepercayaan dan moralitas generasi.
Ismail belajar taat bukan karena dihukum, tapi karena dihormati — diajak bicara, dilibatkan dalam ketaatan. Inilah fondasi pendidikan spiritual berbasis kesalingan, bukan subordinasi.
Menurut Dr. Abdullah Nasih Ulwan dalam Tarbiyatul Aulad fil Islam, nilai tertinggi dalam pendidikan anak adalah keteladanan (qudwah). Nabi Ibrahim telah menjadi qudwah dalam keikhlasan, dan Ismail menjadi qudwah dalam ketundukan.
Pendidikan spiritual yang berhasil tidak lahir dari nasihat semata, tapi dari aksi nyata yang diamati dan diteladani oleh anak.
Pendapat ini juga senada dengan Jean Piaget, psikolog perkembangan anak, yang menyatakan bahwa usia remaja adalah masa transisi dari tahap konkret ke abstrak, saat anak mulai memahami konsep moral, pengorbanan, dan nilai-nilai ideal (Piaget, The Moral Judgment of the Child, 1932).
Dalam konteks ilmiah psikologi dapat dijelaskan bahwa ketertundukan Ismail saat itu bukan karena ia adalah anak-anak yang tidak mengerti apa-apa. Tetapi remaja yang sudah punya pilihan. Maka ketertundukan Ismail adalah ketertundukan karena kesadaran tinggi bahwa terhadap perintah Allah tak ada pilihan lain kecuali sami’na wa-atho’na.
Qurban sebagai Warisan Nilai
Idul Adha adalah momen untuk menyembelih bukan hanya hewan, tetapi juga ego, rasa memiliki yang berlebihan, dan kontrol yang tak berdasar dalam mendidik anak. Ibrahim bersedia menyerahkan anaknya — bukan karena ia tidak cinta, tapi karena cinta itu tidak melebihi cintanya kepada Allah.
Berapa banyak dari kita yang justru mengekang anak dalam nama cinta, memaksakan ambisi kita tanpa memberi ruang bagi mereka menemukan panggilan imannya?
Membentuk Generasi Ismail
Jika kita ingin anak-anak kita tumbuh seperti Ismail — tunduk, tangguh, dan bijak — maka kita sebagai orang tua harus belajar menjadi seperti Ibrahim: mendidik dengan doa, memberi ruang berpikir, dan mengajarkan pengorbanan dengan cinta.
Qurban bukan hanya ritual menyembelih, tapi momen mendidik dan membangun spiritualitas keluarga. Dari kisah Nabi Ibrahim dan Ismail, kita belajar bahwa ketakwaan adalah warisan terbaik, dan qurban adalah wujud tertinggi keikhlasan.
Coba kita renungkan dalam-dalam ayat ini: “Daging-daging dan darah (hewan) qurban itu tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kalian.” (QS. Al-Hajj: 37).
Betapa Allah tidak membutuhkan qurban dalam bentuk apapun, tetapi Allah ingin melihat tingkat ketakwaan kita dalam menjalankan syariat qurban. Takwa kitalah yang akan sampai kepada Allah, bukan yang lainya.
Semoga Idul Adha tahun ini, kita tidak hanya mempersembahkan kambing atau sapi terbaik, tapi juga diri terbaik, keikhlasan terbaik, dan pendidikan terbaik untuk anak-anak kita.
Tentang Penulis:
Ulul Albab adalah akademisi, ketua ICMI Jatim, ketua Litbang DPP Amphuri, aktivis pendidikan keluarga Islami, dan pegiat literasi inspirasi.
Editor : Alim Perdana