Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur
KEBIJAKAN Dinas Pendidikan Jawa Timur untuk meniadakan acara wisuda bagi siswa SMA dan SMK di seluruh provinsi ini, membawa angin segar yang tidak terduga.
Surat Edaran Nomor 000.1.5/1506/101.5/2025 yang terbit pada 6 Maret 2025, seakan menciptakan terobosan besar di tengah kelaziman acara wisuda yang penuh kemewahan.
Kebijakan ini menjadi sebuah jawaban bagi keluhan banyak orang tua yang terbebani biaya tinggi untuk merayakan kelulusan anak-anak mereka.
Keputusan wisuda SMA dihapus ini tentu saja bukan tanpa alasan. Bagaimana tidak, biaya untuk merayakan kelulusan dengan acara wisuda (yang seharusnya menjadi momen sederhana penuh kebahagiaan) seringkali menjadi momok berat.
Bagi keluarga-keluarga yang tergolong dalam kalangan menengah ke bawah, biaya yang harus dikeluarkan untuk merayakan kelulusan ini bisa jadi lebih tinggi dari yang dibayangkan.
Dari biaya penyewaan gedung, pakaian wisuda, konsumsi, hingga dekorasi, semua itu bisa mencekik anggaran keluarga. Padahal, yang seharusnya dirayakan adalah pencapaian. Yaitu pencapaian ilmu, usaha, dan perjuangan selama bertahun-tahun.
Kepala Dindik Jatim, Aries Agung Paewai, dengan tegas menyatakan bahwa kelulusan harus dirayakan dengan cara yang sederhana dan bermakna. Tak perlu lagi ada acara purnawiyata yang mentereng, tak perlu ada gaun mewah, atau acara yang menguras dompet.
Sederhana saja, yang penting anak-anak bisa merasa bangga dengan pencapaian mereka, tanpa dibebani oleh biaya yang bahkan bisa membuat keluarga yang sudah pas-pasan harus berpikir dua kali untuk mengikuti norma sosial yang ada.
Birokrasi Pendidikan, Menyadari Pentingnya Penyederhanaan
Sebagai bagian dari sistem birokrasi, langkah ini bisa dilihat sebagai bentuk keberpihakan pada masyarakat. Tidak hanya sekadar membuat kebijakan, tetapi juga menyentuh langsung pada hati nurani rakyat.
Banyak orang menganggap birokrasi pendidikan sebagai sistem yang kaku dan sulit untuk bergerak sesuai dengan kebutuhan zaman.
Namun, dengan kebijakan ini, kita bisa melihat bahwa birokrasi juga bisa bergerak cepat, tanggap, dan penuh empati terhadap kondisi masyarakat. Dan inilah yang harus kita hargai.
Mengurangi acara wisuda berarti mengurangi pemborosan anggaran yang sebenarnya bisa dialihkan untuk kepentingan pendidikan yang lebih substansial.
Alih-alih dana yang digunakan untuk menyewa gedung mewah, mengundang tamu, atau membeli dekorasi berlebihan, kenapa tidak digunakan untuk program-program yang lebih bermanfaat? Dengan cara ini, anggaran yang ada bisa lebih tepat sasaran, yaitu untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan kesejahteraan siswa.
Siswa, Merayakan Kelulusan dengan Hati
Bagi para siswa, kelulusan bukanlah hanya tentang mengenakan toga atau berfoto dengan ratusan teman di panggung wisuda. Kelulusan adalah tentang perjalanan panjang yang telah mereka tempuh, tentang bagaimana mereka berhasil menyelesaikan ujian hidup dalam bentuk pendidikan. Dan seharusnya, itu cukup untuk membuat mereka bangga.
Tentu saja, sebagian siswa mungkin merasa kecewa karena mereka tidak bisa merasakan euforia wisuda seperti yang biasa terjadi. Momen kelulusan adalah momen yang paling ditunggu-tunggu, yang penuh dengan kegembiraan.
Namun, alangkah lebih baiknya jika mereka bisa merayakan pencapaian tersebut dengan cara yang lebih dalam maknanya, tanpa harus terjebak dalam norma sosial yang memaksakan kemewahan sebagai simbol kebanggaan.
Di zaman yang serba digital ini, siswa memiliki banyak cara untuk merayakan keberhasilan mereka. Mereka bisa berbagi kebahagiaan di media sosial, atau lebih baik lagi, berbagi kebahagiaan dengan keluarga dan teman-teman yang selama ini mendukung mereka.
Mereka tidak perlu lagi merasakan tekanan untuk mengikuti “standar” kelulusan yang penuh dengan kemewahan, apalagi yang membebani.
Orang Tua, Bebas dari Beban Biaya
Mari kita beralih sejenak kepada orang tua. Mereka yang selama ini harus berjuang mati-matian untuk membayar biaya pendidikan anak-anaknya, kini sedikit lega. Keputusan untuk menghapuskan wisuda tentu meringankan beban mereka, yang sering kali harus mengeluarkan dana ekstra hanya untuk merayakan momen kelulusan dengan cara yang dianggap layak.
Biaya-biaya yang timbul saat wisuda, mulai dari pakaian, sewa tempat, hingga berbagai keperluan lain, sering kali membebani orang tua. Tak jarang orang tua merasa terpaksa untuk meminjam uang demi ikut dalam perayaan kelulusan anak-anak mereka.
Dengan kebijakan baru ini, orang tua kini bisa merayakan kelulusan anak dengan cara yang lebih tenang—tanpa harus khawatir tentang biaya.
Namun, tentu kita juga tidak bisa menutup mata bahwa bagi sebagian orang tua, wisuda adalah simbol kebanggaan. Melihat anak mengenakan toga dan berdiri di depan panggung adalah puncak dari semua jerih payah yang mereka jalani bersama.
Akan tetapi, bagaimana jika makna kelulusan itu sendiri bisa dipersepsikan dengan cara yang lebih dalam? Bukankah kebahagiaan bisa lebih berarti tanpa harus mengorbankan banyak hal?
Sosial Kekinian: Sederhana namun Bermakna
Kebijakan ini menjadi sebuah langkah besar untuk menanggalkan kemewahan yang tak perlu. Kita sering terjebak dalam budaya konsumerisme yang memaksa kita untuk menilai keberhasilan dengan materi.
Wisuda yang meriah, dengan segala hingar bingar dan kemewahan, selama ini telah menjadi simbol yang mengukur seberapa besar seseorang meraih prestasi. Namun, apakah itu benar? Apakah itu yang sebenarnya penting?
Kita sedang berada di era yang sangat berbeda dengan sebelumnya. Era digital membawa kita pada pemahaman baru bahwa kesuksesan tidak perlu diukur dengan kemewahan, tetapi dengan kualitas dan substansi.
Pendidikan bukanlah sekadar tentang mengenakan pakaian terbaik atau berfoto di atas panggung, tetapi tentang apa yang telah kita capai—pengetahuan, keterampilan, dan kepribadian yang tumbuh selama bertahun-tahun. Mari kita rayakan itu, dengan cara yang lebih sederhana namun jauh lebih bermakna.
Di dunia yang semakin mengedepankan materi, kebijakan ini menjadi pengingat bahwa kebahagiaan dan prestasi tidak harus dilihat dari seberapa besar biaya yang dikeluarkan. Cukup dengan merayakan kelulusan dengan hati yang bahagia, tanpa beban, dan penuh syukur.
Itulah cara terbaik untuk merayakan pendidikan dan kehidupan. Semoga langkah ini menginspirasi kita untuk lebih menghargai makna kelulusan yang sejati, dan merayakannya dengan cara yang lebih bijaksana.
Editor : Alim Perdana