SURABAYA - Tingginya angka pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi Indonesia menjadi perhatian serius.
Dalam analisisnya, Ulul Albab, Ketua ICMI Orwil Jawa Timur, mengidentifikasi akar masalah pengangguran lulusan perguruan tinggi dan menawarkan solusi komprehensif. Ia menekankan kesenjangan antara pendidikan dan dunia kerja sebagai faktor utama.
"Berdasarkan data BPS tahun 2023, tingkat pengangguran lulusan perguruan tinggi mencapai sekitar 6-8%, jauh lebih tinggi daripada lulusan SMA atau SMK," ungkapnya.
"Ini bukan sekadar angka statistik; ini adalah realita yang dihadapi ribuan lulusan setiap tahunnya," sambungnya.
Ulul Albab menjabarkan beberapa faktor penyebab: pertama, kesenjangan antara teori dan praktik.
"Banyak lulusan memiliki pemahaman teoritis yang kuat, namun kurang terampil secara praktis," jelasnya.
Perguruan tinggi, menurutnya, seringkali terlalu fokus pada teori akademis, mengabaikan keterampilan terapan yang dibutuhkan industri.
Kedua, jumlah lulusan yang melimpah tidak diimbangi dengan lapangan kerja yang tersedia.
"Persaingan semakin ketat, namun peningkatan jumlah lulusan tidak diimbangi dengan pertumbuhan lapangan kerja yang memadai," terannya.
Ketiga, kualitas pendidikan tinggi yang tidak merata. "Perguruan tinggi di kota besar mungkin lebih siap, tetapi bagaimana dengan perguruan tinggi di daerah terpencil?" tanyanya. Keterbatasan fasilitas dan akses ke dunia industri di daerah menjadi penghambat kesiapan lulusan.
Keempat, kekurangan keterampilan digital. "Kita hidup di era digital, namun banyak lulusan masih 'ketinggalan zaman'," kata Ulul Albab. Keterampilan digital menjadi faktor penentu daya saing di pasar kerja modern.
Untuk mengatasi masalah ini, Ulul Albab mengajukan beberapa solusi. Pertama, merevisi kurikulum perguruan tinggi agar lebih menekankan keterampilan praktis dan digital.
"Kita perlu menciptakan lulusan yang siap kerja, bukan hanya sarjana berteori mumpuni," tegasnya.
Kedua, meningkatkan kolaborasi perguruan tinggi dan industri melalui program magang yang lebih terstruktur.
"Magang bukan sekadar pelengkap, tetapi bagian integral dari pendidikan," ujarnya.
Ketiga, mengembangkan pendidikan vokasional dan kewirausahaan. "Tidak semua orang harus menjadi pekerja kantoran," jelas Ulul Albab. Pendidikan vokasional dan kewirausahaan perlu lebih dihargai.
Keempat, menyediakan pelatihan digital yang merata bagi semua lulusan. "Keterampilan digital adalah kunci daya saing di pasar global," tegasnya.
Ulul Albab juga mendorong Indonesia untuk belajar dari negara-negara lain yang telah berhasil mengatasi masalah serupa.
"Kita perlu mengadopsi strategi yang terbukti efektif dan menyesuaikannya dengan kondisi lokal," pungkasnya.
Ia mengajak pemerintah, perguruan tinggi, dan industri untuk bekerja sama menciptakan peluang kerja yang lebih banyak dan relevan.
Editor : Alim Perdana