DI ANTARA deru mesiu dan suara takbir di medan perang Aceh, berdiri seorang perempuan dengan sorot mata tajam dan tangan menggenggam pedang. Namanya Cut Nyak Dien.
Ia bukan hanya pendamping seorang pejuang. Ia adalah pemimpin pasukan, pemikir strategi, dan simbol perlawanan yang tak gentar pada kekuasaan kolonial.
Baca juga: Khofifah Indar Parawansa: Kepemimpinan, Kesalehan dan Ketegasan
Lahir pada 1848 di wilayah Aceh Besar dari keluarga bangsawan dan ulama, Cut Nyak Dien tumbuh dalam tradisi Islam yang kuat dan semangat juang melawan ketidakadilan. Ketika perang Aceh meletus pada 1873 melawan kolonial Belanda, hidupnya berubah total.
Setelah suaminya, Teuku Ibrahim Lamnga, gugur di medan perang, ia tidak tenggelam dalam duka. Ia bangkit, memegang senjata, dan melanjutkan perjuangan.
Perempuan yang Mengubah Perang
Dalam catatan sejarah, Cut Nyak Dien menjadi salah satu komandan perang perempuan pertama di Nusantara. Ia memimpin laskar rakyat dan melakukan gerilya selama lebih dari dua dekade. Kecerdasan taktisnya membuat Belanda kewalahan.
Bahkan dalam Koloniale Verslagen (Laporan Kolonial Belanda), Cut Nyak Dien digambarkan sebagai "sosok perempuan paling berbahaya" karena berhasil menyatukan berbagai kekuatan lokal dalam semangat jihad melawan kolonialisme (Reid, 2005).
Bagi Cut Nyak Dien, perang bukan hanya perjuangan fisik, tetapi juga spiritual. Ia menyebut perlawanan itu sebagai bagian dari ibadah, dari tauhid, dari keberanian seorang hamba kepada Sang Khalik. Maka tak heran jika api semangatnya tak padam bahkan saat tua dan sakit-sakitan. Hingga akhirnya ia ditangkap, diasingkan ke Sumedang, dan wafat pada 1908.
Jejak Cut Nyak Dien di Zaman Kini
Seabad lebih sejak wafatnya, warisan Cut Nyak Dien tetap relevan. Ia bukan hanya simbol perlawanan fisik, tetapi juga simbol keberanian perempuan untuk memimpin, mengambil keputusan, dan melampaui batas budaya patriarki.
Kita hidup di zaman ketika perempuan masih harus membuktikan kelayakannya untuk berada di ruang-ruang strategis: sebagai rektor, gubernur, menteri, atau pengusaha. Di sinilah inspirasi Cut Nyak Dien bekerja: bahwa keberanian, kepemimpinan, dan tekad bukan milik satu gender, tetapi milik siapa pun yang berjiwa besar.
Baca juga: Khofifah Indar Parawansa: Kepemimpinan, Kesalehan dan Ketegasan
Bagi ICMI, semangat Cut Nyak Dien adalah bukti bahwa perempuan bukan hanya “pengikut”, tapi pemimpin dalam arti sesungguhnya. Di banyak wilayah Indonesia, perempuan-lah yang memimpin gerakan pendidikan, ekonomi berbasis komunitas, hingga advokasi sosial. Mereka adalah "Cut Nyak Dien zaman kini" yang tak banyak diliput kamera, tapi bekerja dalam senyap membangun peradaban.
Menggugah Generasi Z Perempuan
Generasi muda, terutama perempuan Gen Z, perlu tahu bahwa perjuangan bukan hanya tentang viral di media sosial. Tapi tentang kesetiaan pada prinsip, keberanian berpikir beda, dan keteguhan dalam membela kebenaran.
Cut Nyak Dien tidak kuliah di luar negeri. Ia tidak memiliki akun media sosial. Tapi keberaniannya menggetarkan dunia. Maka, apakah kita yang hidup di zaman dengan segala kemudahan, tidak seharusnya lebih banyak berbuat?
Perempuan Adalah Jantung Perubahan
Baca juga: Kartini dalam Lintas Zaman: Memaknai Emansipasi Perempuan di Era Modern
Sebagaimana yang sering disampaikan dalam forum-forum ICMI, perempuan adalah jantung perubahan. Dan Cut Nyak Dien membuktikan itu—bahwa bahkan di tengah zaman dan sistem yang membatasi, seorang perempuan bisa memimpin perlawanan dan mengukir sejarah.
Semangat ini yang harus terus dihidupkan. Bahwa menjadi perempuan bukan berarti diam, tunduk, dan menunggu. Tapi bergerak, memimpin, dan menginspirasi. Sama seperti Cut Nyak Dien, yang tidak pernah meminta untuk dicatat dalam sejarah. Tapi sejarah sendirilah yang tak bisa mengabaikannya.
Nantikan Tokoh Berikutnya:
Di serial selanjutnya, kita akan menelusuri jejak Sri Mulyani Indrawati—tokoh perempuan kontemporer Indonesia yang menembus batas politik dan ekonomi global, membuktikan bahwa kecerdasan dan integritas bisa menjadi kekuatan transformasi bangsa.
Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Orwil Jawa Timur
Editor : Alim Perdana