Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur
PARA ilmuwan belakangan ini sibuk meneliti kebahagiaan. Mereka menulis jurnal. Menghitung data. Mengukur emosi. Kesimpulannya ternyata sederhana: bahwa orang yang terbiasa bersyukur cenderung lebih bahagia.
Temuan yang menarik tentunya. Meski bagi sebagian orang beriman, termasuk anda para pembaca, hal itu seperti kabar lama yang diumumkan ulang. Mengapa? Karena Islam sudah lama membicarakan syukur. Bahkan menjadikannya fondasi iman. Bukan tambahan. Bukan pelengkap. Tapi fondasi.
Masalah manusia modern sekarang ini sebenarnya jarang yang benar-benar soal kekurangan. Lebih sering soal rasa tidak pernah cukup. Selalu “merasa kurang”. Bukan kekurangan, tetapi “merasa jurang”.
Memang, hidup hari ini seperti etalase panjang. Apa pun yang lebih baik akan mudah terlihat. Apa pun yang lebih tinggi akan mudah membuat iri. Media sosial mempercepat semuanya. Satu layar, seribu perbandingan.
Akhirnya, nikmat sendiri terasa kecil, bukan karena memang kecil, tetapi karena terus disejajarkan dengan milik orang lain.
Di sinilah syukur sering kalah pamor. Ia terlalu “sunyi” untuk zaman yang suka pamer ini. Terlalu sederhana untuk dunia yang gemar berlebihan. Padahal syukur bukan hanya sekadar ucapan. Tapi cara berpikir.
Al-Qur’an menyampaikannya dengan kalimat yang singkat, tapi tegas: “Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu.”
Banyak yang membacanya ayat ini sebagai janji materi. Tidak salah. Dan karena memang dalam banyak hal bersyukur bisa memberi peluang tambah materi. Namun jangan lupa, yang pertama kali bertambah dari dampak “bersyukur” adalah kelapangan hati.
Orang yang bersyukur biasanya tidak banyak drama. Bukan karena hidupnya sempurna, tetapi karena ia tidak membiarkan satu kekurangan menutupi sepuluh kenikmatan lain. Bahkan mungkin seribu dan sejuta kenikmatan yang tak ia perhatikan.
Syukur melatih kita untuk introspeksi, untuk refleksi. Menghitung yang sudah ada, bukan yang belum ada. Menjaga yang dimiliki, bukan terus mengejar yang diimpikan orang lain.
Banyak orang hari ini lelah, bukan karena kurang usaha. Mereka lelah karena terus merasa tertinggal. Aneh memang. Padahal hidup bukan lomba lari cepat. Tidak semua orang harus tiba bersamaan. Tidak semua jalan harus ditempuh dengan kecepatan yang sama.
Orang yang bersyukur memahami itu. Ia tetap bekerja keras, tapi tidak terbakar iri. Ia punya target, tapi tidak kehilangan ketenangan.
Syukur membuat kita sadar: bahwa bahagia bukan ketika semua keinginan terpenuhi, tetapi bahagia adalah ketika hati berhenti menuntut tanpa henti.
Mungkin itu sebabnya, sering kali kita melihat orang sederhana tampak lebih ringan hidupnya. Bukan karena ia memiliki lebih banyak, tetapi karena ia lebih sedikit mengeluh dan lebih banyak menerima.
Di dunia yang terus mendorong manusia merasa kurang, syukur adalah sikap paling sehat. Tenang. Diam. Tapi kuat.
Al-Qur’an menutup pembicaraan tentang syukur dengan satu kalimat yang jarang dikutip secara utuh, yaitu: “Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Dan jika kamu kufur, sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”
Bagian kedua dari Ayat ini adalah peringatan keras. Bahwa kufur nikmat bukan selalu berarti menolak iman. Sering kali ia hadir dalam bentuk yang lebih halus, yaitu: terus mengeluh padahal hidup masih berjalan, meremehkan nikmat kecil, atau sibuk membandingkan diri hingga lupa mensyukuri yang sudah ada.
“Azab yang sangat pedih” bagi yang kufur nikmat yang dimaksud dalam ayat tersebut bisa saja dalam bentuk hati yang sempit, pikiran yang gelisah, dan hidup yang terasa berat meski sebetulnya cukup.
Maka syukur bukan hanya jalan menuju bahagia. Tapi juga cara menyelamatkan diri dari kelelahan yang tak perlu, dari iri yang menggerogoti, dan dari hidup yang terasa kosong padahal penuh.
Jadi, yuk selalu bersyukur, mensyukuri, dan selalu menghitung-hitung nikmat karuniaNya, agar kita semakin diberi tamhaban, tambah Bahagia, dan terhindar dari “adzab yang sangat pedih”.
Editor : Alim Perdana