ICMI 35 Tahun, Saatnya Cendekiawan Muslim Kembali ke Panggung Strategis Bangsa

Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Orwil Jawa Timur

SELAMA 35 tahun perjalanan republik ini, ada satu fase di mana kata “Cendekiawan Muslim” bukan hanya identitas sosial, tetapi reputasi intelektual, energi perubahan, dan simbol kebangkitan kelas menengah Indonesia. Fase itu lahir bersama ICMI.

Banyak yang masih mengingat bagaimana ICMI pernah menjadi ruang di mana ilmu, iman, dan kebangsaan tidak bertabrakan, tapi justru saling menguatkan.

Namun hari ini, ketika bangsa memasuki lanskap pemerintahan baru dengan orientasi besar pada ketahanan nasional, teknologi, hilirisasi, kedaulatan pangan, dan percepatan ekonomi, maka pertanyaan yang muncul adalah: masihkah ICMI relevan?

Pertanyaan itu wajar, tetapi jawaban sebenarnya jauh lebih penting: ICMI relevan bukan karena sejarahnya, tetapi karena kebutuhan bangsa hari ini.

Kita sedang berada dalam era di mana wacana tidak cukup, keluhan tidak berguna, dan analisis tanpa implementasi hanya menjadi angin lewat. Pemerintahan Presiden Prabowo membawa satu pesan besar: negara harus kuat, rakyat harus sejahtera, dan masa depan harus diraih melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan produktivitas.

Narasi ini membutuhkan mitra pemikiran, mitra etika, dan mitra keilmuan yang tidak partisan namun memahami arah negara. Di sinilah ICMI memiliki ruang kontribusi yang tidak dimiliki organisasi lain.

ICMI lahir bukan sebagai ormas politik, tetapi sebagai rumah besar bagi mereka yang percaya bahwa kecerdasan adalah bagian dari keimanan, dan karya adalah bagian dari pengabdian.

Tantangan yang dihadapi adalah, rumah besar itu harus kembali menyalakan lampunya, membuka jendelanya, dan menegakkan kembali papan namanya. Sebab bangsa ini sedang membutuhkan ruang yang menjembatani pengetahuan dengan kebijakan, moralitas dengan kekuasaan, dan umat dengan negara. Jika bukan ICMI, siapa lagi?

Ada tiga modal penting yang masih dimiliki ICMI: Pertama, jejaring keilmuan yang tersebar di kampus, lembaga riset, birokrasi, industri, dan dunia profesional. Tidak ada organisasi umat lain dengan densitas akademik sebesar ini.

Kedua, kedekatan sosiologis dengan kelas menengah Muslim, kelompok yang saat ini menjadi motor konsumsi, pelaku ekonomi, penentu suasana politik, sekaligus penggerak agenda mobilitas sosial.

Ketiga, otoritas moral, karena cendekia bukan sekadar profesi, tetaapi karakteryang menggabungkan akal, etika, dan tanggung jawab publik.

Namun modal itu tidak akan berarti apa-apa bila ICMI terjebak dalam nostalgia. Kita harus terus terang mengatakan: sebagian publik masih melihat ICMI sebagai organisasi era lampau, sebagai kenangan, bukan sebagai masa depan. Di sinilah reposisi menjadi keharusan.

Reposisi yang dimaksud bukan mengubah ICMI menjadi alat kekuasaan, tetapi menjadi mitra kritis konstruktif pemerintah. Mendukung tanpa mengekor, mengoreksi tanpa memusuhi. Sikap yang dewasa, elegan, dan bermartabat persis seperti seharusnya cendekia Muslim berdiri di ruang publik.

Pemerintahan baru membutuhkan policy input yang independen namun solutif dalam isu-isu strategis seperti: transformasi pendidikan dan talenta nasional, kemandirian pangan dan desa produktif, percepatan riset dan teknologi, pengembangan ekonomi umat dan UMKM, etika publik dan tata kelola pemerintahan, serta harmoni kebinekaan dan peradaban Nusantara. Semua itu berada dalam spektrum yang ICMI mampu isi.

Momentum Milad ke-35 dan SILAKNAS ICMI di Bali, 5–7 Desember 2025, menjadi ruang untuk menegaskan babak baru itu. Pemilihan Bali sebagai tuan rumah membawa pesan simbolik: harmoni, keterbukaan, persaudaraan antar-komunitas, dan Islam yang teduh serta berkeadaban. Ini tentu bukan hanya acara rutin tahunan, tetapi titik balik naratif.

Reputasi cendekiawan Muslim tidak boleh meredup. Ia harus kembali menjadi cahaya yang memberi arah. Bukan dengan pidato berkepanjangan, tetapi dengan gagasan yang dapat diimplementasikan. Bukan dengan klaim moral, tetapi dengan teladan etika. Bukan dengan romantisme sejarah, tetapi dengan keberanian menatap masa depan.

ICMI bukan organisasi yang selesai. Ia justru sedang menuju fase kedewasaan baru, fase ketika umat dan bangsa membutuhkan panduan intelektual yang tidak riuh, tetapi jernih; tidak reaktif, tetapi strategis; tidak partisan, tetapi berfihak pada kemajuan.

Dan bila kita percaya bahwa bangsa besar hanya bisa dibangun oleh akal yang tercerahkan, hati yang bersih, dan karya yang nyata maka jelas bahwa panggung itu masih milik ICMI. Tinggal satu pertanyaan tersisa: Apakah kita siap menyalakan kembali reputasi itu?

 

Editor : Alim Perdana