Oleh: Ulul Albab
Kabid Litbang DPP Amphuri
UNDANG-Undang No. 14 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah lahir dengan janji besar: memperbaiki tata kelola ibadah yang melibatkan jutaan umat.
Namun setelah membaca secara saksama seluruh pasalnya, saya justru sampai pada sebuah kesimpulan yang tidak enak disampaikan, yaitu: ada terlalu banyak celah, kekosongan norma, dan ketidakkonsistenan logika hukum yang mengancam masa depan pelayanan haji dan umrah.
Ini bukan sekadar kekurangan teknis. Masalahnya lebih dalam: UU ini meninggalkan prinsip dasar perlindungan jamaah dan keadilan bagi penyelenggara.
Tidak Ada Definisi Umrah Mandiri
UU ini memberi ruang besar bagi jalur umrah mandiri, namun anehnya tidak memberikan definisi apa pun tentang apa itu Umrah Mandiri. Akibatnya, seluruh pasal yang terkait Pasal 86, 87A, 88A, 96, dan 97 berjalan dalam ruang gelap.
Ketiadaan definisi bukan persoalan sepele. Dalam teori hukum disebut sebagai void for vagueness: norma menjadi kabur, kabur melahirkan tafsir liar, tafsir liar berakhir pada kerentanan hukum.
Sebuah undang-undang yang menyangkut keselamatan jamaah tidak boleh disusun seperti ini.
Negara Lepas Tangan terhadap Jamaah Umrah Mandiri
Inilah bagian paling problematis. Pasal 96 menegaskan bahwa seluruh bentuk perlindungan (akomodasi, transportasi, kesehatan, asuransi) tidak berlaku bagi jamaah umrah mandiri. Pasal 97 melanjutkannya: kompensasi dan ganti rugi juga tidak berlaku bagi mereka.
Artinya: Negara mengizinkan jalur mandiri, tetapi sekaligus melepaskan warga negara tanpa perlindungan apa pun.
Sulit membayangkan bagaimana ketentuan ini bisa lolos, sebab langsung bertentangan dengan Pasal 28H dan 28I UUD 1945 yang mewajibkan negara melindungi keselamatan warganya. Apakah jamaah mandiri bukan warga negara?
Tak Ada Standar Layanan Minimal
Untuk jalur umrah reguler, standar layanan jelas dan rinci. Bagaimana untuk jalur umrah mandiri? Jawabnya: Tidak ada satu pun standar minimal (SLM). Tidak ada standar hotel. Tidak ada standar transportasi. Tidak ada standar asuransi. Tidak ada standar manasik. Tidak ada standar keselamatan.
Lebih berbahaya lagi, Pasal 88A menyatakan bahwa hak jamaah ditentukan “sesuai perjanjian tertulis”. Tetapi UU tidak menentukan apa yang harus minimal dicantumkan dalam perjanjian itu. Ini semacam undangan bagi eksploitasi.
Beban Tak Proporsional kepada PIHK (Pasal 62–67)
Saat jalur mandiri dibebaskan dari kewajiban sekecil apa pun, justru PIHK (Penyelenggara Perjalanan Ibadah Haji Khusus) dibebani serangkaian kewajiban berat. Yaitu: kuota minimal 45 jamaah, kewajiban penggabungan, laporan berlapis, infrastruktur TI, audit, dan sertifikasi berulang.
Kewajiban ini tidak disertai masa transisi, tidak disesuaikan dengan kapasitas pelaku usaha kecil, dan tidak diuji proporsionalitasnya. Algoritmanya sederhana: PIHK kecil akan mati perlahan. Apa memang tujuanya begitu?
Potensi Kriminalisasi Administratif (Pasal 112 dan 123)
Pasal 112 memberikan kewenangan super luas kepada penyidik PNS, yaitu meliputi: penggeledahan, penyitaan dokumen elektronik, pemanggilan paksa. Tanpa check and balance yang kuat, kewenangan ini berpotensi berubah menjadi alat tekanan, bukan alat penegakan hukum.
Lalu Pasal 123 menjatuhkan sanksi pidana tinggi atas kesalahan administratif. Padahal dalam hukum modern, pidana adalah ultimum remedium, obat terakhir. Bukan ancaman pertama. UU ini seolah sengaja membalik prinsip hukum secara tidak elegan.
Menuju Tata Kelola Haji dan Umrah yang Berkeadaban
Kritik ini tidak lahir dari kecurigaan, tetapi dari cinta terhadap tata kelola ibadah, yaitu: agar jamaah terlindungi, agar penyelenggara adil diperlakukan, dan agar negara hadir dengan kebijaksanaan.
UU No. 14 Tahun 2025 perlu dikoreksi, bukan untuk menjatuhkan siapa pun, tetapi untuk menegakkan martabat pelayanan haji dan umrah sebagai pilar peradaban.
Mengkritisi undang-undang bukanlah perlawanan. Tetapi adalah bentuk kepedulian dan tanggung jawab moral, agar kebijakan negara tidak menyimpang dari amanat konstitusi dan etika kemanusiaan.
Saat hukum mengabaikan perlindungan jamaah, saat pelaku usaha diperlakukan tidak adil, saat ruang kriminalisasi semakin luas, maka kebijakan itu layak dikoreksi.
If we want a civilized hajj and umrah governance, the law must reflect civilization.
Dan UU 14/2025, sebagaimana adanya sekarang, masih jauh dari itu.
Wassalam.
Editor : Alim Perdana