Jalan Panjang Menuju Kemaslahatan

Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur, Akademisi,
Ketua Litbang DPP Amphuri

UANG haji adalah uang paling “berat” di republik ini. Bukan karena jumlahnya, meski triliunan, tetapi karena ia lahir dari niat ibadah. Dari jerih payah jamaah yang menabung bertahun-tahun dengan satu tujuan: berhaji.

Maka setiap rupiahnya membawa doa, bukan sekadar saldo. Dan ketika doa itu dititipkan kepada negara, tanggung jawabnya bukan administratif, tapi moral dan spiritual.

Itulah kenapa revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji menjadi momen penting. Bukan sekadar memperbaiki pasal, tapi mengembalikan makna amanah yang mulai kabur. Karena setelah hampir sepuluh tahun berjalan, undang-undang ini terbukti belum menumbuhkan kemaslahatan sebagaimana cita-citanya.

Mari kita lihat satu per satu.

A. Pasal-pasal yang Perlu Direvisi: Prioritas untuk Akal Sehat dan Nurani

Pasal 2–3 (Asas dan Tujuan) harus dirombak. Selama ini bunyinya indah, tapi hampa arah. Tak ada penegasan bahwa nilai manfaat dana haji harus benar-benar dirasakan jamaah dan masyarakat.

Tambahkan frasa tegas: memprioritaskan distribusi nilai manfaat yang proporsional dan nyata bagi jamaah, daerah asal, serta program kemaslahatan umat. Jangan biarkan tujuan hanya berhenti di kalimat pembuka undang-undang.

Pasal 5–9 soal sumber, saldo, dan nilai manfaat juga bermasalah. Di sana disebut saldo jamaah tidak dapat diambil. Logis, tapi tidak manusiawi dalam semua situasi.

Bagaimana bila jamaah wafat sebelum berangkat? Atau gagal berangkat karena sakit? Pasal ini perlu fleksibilitas: ada mekanisme klaim, pengembalian, atau portability saldo antaranggota keluarga.

Pasal 10–13 menyangkut pengeluaran, operasional, dan investasi. Di sinilah BPKH sering kehilangan kelincahan. Semua keputusan investasi harus lewat Dewan Pengawas. Padahal di dunia keuangan, peluang tidak menunggu rapat. Sistem seperti ini membuat BPKH berjalan dengan rem tangan tertarik. Revisi harus mengatur fast-track approval dengan batas risiko yang jelas.

Kelembagaan BPKH juga rancu. Di atas kertas mandiri, tapi dalam praktik diawasi Presiden melalui Menteri Agama. Mandiri tapi tidak bebas. Bertanggung jawab tapi tidak jelas kepada siapa. Relasi ini harus diperjelas: BPKH adalah badan hukum publik mandiri yang akuntabel kepada DPR dan Pemerintah, dengan forum koordinasi berkala bersama Kemenag bukan subordinasi.

Transparansi pun perlu dibongkar ulang. Laporan enam bulanan ke DPR itu terlalu klasik. Jamaah butuh portal publik terbuka: berapa dana masuk, diinvestasikan di mana, berapa hasilnya, dan siapa yang mengaudit. Bukankah keterbukaan justru memperkuat kepercayaan?

B. Mengapa Harus Direvisi: Antara Realitas dan Harapan

Pertama, kesenjangan antara tujuan dan praktik. UU menjanjikan kemaslahatan, tapi nilai manfaat yang dirasakan jamaah masih samar. Tiket haji tetap mahal, fasilitas belum membaik secara signifikan.

Kedua, ambiguitas kelembagaan. BPKH “mandiri tapi diawasi” menciptakan kebingungan antara otoritas dan tanggung jawab. Akibatnya, koordinasi dengan Kemenag kerap tumpang tindih.

Ketiga, mekanisme keuangan yang kaku. Ketentuan bahwa pengeluaran operasional hanya boleh dari persentase nilai manfaat membuat manajemen tidak fleksibel. Dunia investasi butuh kelincahan, bukan birokrasi berlapis.

Keempat, transparansi yang belum terasa publik. Laporan ke DPR tanpa akses terbuka bagi masyarakat hanya melahirkan kepercayaan semu. Jamaah yang menabung belasan tahun pantas tahu ke mana uangnya berlabuh.

C. Rekomendasi Arah Perubahan: Dari Amanah ke Kemaslahatan

1. Tujuan UU (Pasal 2–3): perjelas orientasi pada kemaslahatan nyata. Tetapkan indikator manfaat: berapa persen nilai manfaat yang kembali ke jamaah atau ke program sosial berbasis umat.

2. Hak Jamaah (Pasal 5–8): berikan hak klaim, pengembalian, dan fleksibilitas pengelolaan saldo. Tambahkan mekanisme likuiditas dan lindung nilai agar saldo tidak tergerus inflasi.

3. Kelembagaan (Pasal 10–13): definisikan ulang hubungan BPKH–Pemerintah–DPR. BPKH mandiri secara operasional, tapi diawasi secara strategis dan transparan. Rekrutmen direksi dan pengawas harus berbasis kompetensi, bukan kompromi politik.

4. Investasi dan Risiko: ubah sistem persetujuan investasi menjadi dua lapis: strategic portfolio approval dan fast response mechanism. Bukalah peluang investasi produktif syariah—pertanian, perumahan jamaah, industri halal—dengan dampak sosial nyata.

5. Transparansi Publik: wajibkan portal informasi terbuka. Laporan tahunan, audit, kebijakan investasi, dan nilai manfaat harus tersedia daring dan mudah diakses.

6. Kemaslahatan Umat: tetapkan porsi minimal nilai manfaat untuk pemberdayaan ekonomi umat. Misalnya: 10% untuk program sosial syariah seperti wakaf produktif atau koperasi jamaah.

D. Penutup: Uang Umat, Amanah Negara

Revisi undang-undang ini jangan berhenti pada pasal dan ayat. Ia harus sampai ke nurani. Sebab amanah tidak diukur dari laba, tapi dari manfaat.

Jika DPR dan Pemerintah berani menempatkan reformasi ini di rel yang benar, Indonesia bisa menjadi contoh dunia Islam: negara modern yang mampu mengelola dana ibadah secara transparan, produktif, dan penuh berkah.

Namun kalau revisi ini hanya menjadi kosmetik politik sekadar menambah pasal tanpa arah baru, maka kita akan terus berkutat di lingkaran lama: dana besar, manfaat kecil, dan kepercayaan publik yang rapuh.

Uang haji bukan uang negara. Ia adalah titipan langit yang lewat tangan manusia. Dan kalau titipan itu tidak dikelola dengan niat yang lurus, maka tak ada sistem yang bisa menyelamatkan kita dari kehilangan yang paling berharga: kepercayaan umat.

 

Editor : Alim Perdana