Dilema BPKH: Antara Mandiri & Diawasi

Foto: Ilustrasi/ChatGPT Images
Foto: Ilustrasi/ChatGPT Images

Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur, Akademisi, Ketua Litbang DPP Amphuri

SAYA suka menggunakan istilah “mandiri tapi diawasi” untuk seri ketiga ini. Sebab kedengarannya cukup bisa menghibur. Seperti anak kos: disuruh belajar mandiri, tapi tiap malam tetap ditelpon ibunya: “Udah makan, Nak?”

Begitulah kira-kira posisi Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) hari ini. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 menahbiskannya sebagai lembaga yang mandiri, profesional, dan transparan. Tapi dalam ayat berikutnya, lembaga ini diwajibkan bertanggung jawab kepada Presiden dan melapor kepada Menteri Agama. Mandiri, tapi tak boleh melangkah jauh.

Di atas kertas, ini mungkin kompromi politik. Tapi di lapangan, ini jadi dilema kelembagaan yang rumit. BPKH dituntut berinovasi seperti lembaga keuangan, tapi diikat birokrasi seperti lembaga pemerintah. Ia dikejar target kinerja investasi, tapi geraknya sering tersandera regulasi yang terlalu administratif.

Kalau mau jujur, BPKH ini bukan lembaga biasa. Ia mengelola uang umat lebih dari Rp 160 triliun yang sebagian besar belum tentu akan berangkat haji dalam 10 tahun ke depan.

Artinya, ada waktu panjang untuk memutar dana itu jadi produktif, asalkan… diberi ruang. Tapi ruang itu sempit sekali. Karena setiap langkahnya harus lewat pagar-pagar kehati-hatian: izin ini, rekomendasi itu, audit sana, klarifikasi sini.

Akhirnya, BPKH seperti pengemudi mobil mewah yang hanya boleh jalan di gigi satu. Aman, tapi tak pernah sampai.

Masalah lain adalah akuntabilitas syariah. Banyak pihak lupa bahwa BPKH bukan hanya lembaga finansial, tapi juga lembaga keimanan. Uang yang dikelola itu bukan sekadar dana publik, tapi dana titipan orang yang mau memenuhi panggilan Tuhan. Maka, profesionalisme di sini tidak cukup dengan indikator laba harus ada keshalihan manajerial.

Sayangnya, aspek itu belum terlalu kuat diatur. Dewan Pengawas dan Badan Pelaksana sering diukur dengan kriteria administratif, bukan integritas syariah yang komprehensif. Padahal, pengelolaan uang umat membutuhkan jiwa amanah, bukan sekadar skill keuangan.

Maka, kalau mau jujur lagi, BPKH ini seperti orang saleh yang dikurung dalam ruang rapat. Semuanya serba prosedural, tapi kehilangan denyut spiritual.

Reformasi ke depan harus berani menata ulang tata kelola BPKH. Biarkan lembaga ini benar-benar mandiri, bukan hanya dalam teks undang-undang, tapi dalam praktik.

Berikan ruang inovasi, tapi perkuat mekanisme transparansi publik berbasis digital. Pisahkan peran regulator dan operator secara tegas: Kementerian Agama (direvisi dengan menunjuk Kementerian Haji dan Umrah) jangan sekaligus jadi pengawas dan penerima manfaat.

Negara ini butuh lembaga pengelola keuangan umat yang bisa lari cepat tanpa lupa arah kiblat. Kalau revisi UU 34/2014 hanya menambah pasal baru tanpa mengurai dilema lama, kita hanya akan melahirkan lembaga yang semakin gemuk tapi tetap gamang.

Dan, seperti anak kos yang tetap ditelpon ibunya tiap malam, BPKH akan terus ditanya hal yang sama: “Sudah makan, Nak?” padahal yang ia butuh bukan pengawasan, tapi kepercayaan.

 

 

Editor : Alim Perdana