Investasi Umat, Untuk Siapa?

Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur, Akademisi,
Ketua Litbang DPP Amphuri

UANG haji itu luar biasa. Jumlahnya bisa bikin menteri keuangan pun menoleh dua kali. Lebih dari seratus enam puluh triliun rupiah dan semuanya titipan umat. Tapi pertanyaannya, titipan itu diputar untuk siapa? Untuk umat, atau untuk angka-angka yang indah di laporan tahunan?

BPKH memang punya tugas mulia: mengelola dana haji agar memberi nilai manfaat. Istilah yang terdengar manis, tapi sering tak jelas ujung pangkalnya. Nilai manfaat itu apa? Umat dapat apa? Dan siapa yang paling diuntungkan?

Kalau ditelusuri, sebagian besar portofolio investasi BPKH masih di sekitar surat berharga, deposito syariah, dan instrumen finansial yang aman tapi dingin. Aman, iya. Produktif? Belum tentu. Surat berharga itu seperti menaruh uang di kulkas: tidak hilang, tapi juga tidak menumbuhkan ekonomi umat.

Padahal semangat awal pengelolaan keuangan haji adalah agar dana umat bisa memberi multiplier effect memberdayakan petani, nelayan, UMKM, perumahan syariah, bahkan sektor halal nasional. Tapi sampai sekarang, arah ke sana masih samar-samar.

Kenapa? Karena selalu ada alasan klasik: risiko tinggi, potensi gagal bayar, dan ini yang paling sering disebut “tidak sesuai ketentuan investasi syariah yang prudent.” Prudent, katanya. Tapi kalau semua hal ditakutkan, kapan umat dapat manfaatnya?

Masalah sebenarnya bukan di uangnya, tapi di nyali pengelola dan desain regulasinya. BPKH dibentuk seperti lembaga investasi, tapi diperlakukan seperti bendahara sekolah. Semua serba hati-hati, tapi akhirnya tidak banyak yang berarti.

Risiko moral hazard juga mengintai. Uang sebesar itu tentu menggoda. Maka, transparansi harus absolut. Jangan sampai investasi umat jadi ladang proyek terselubung. Bukan mustahil dana umat yang seharusnya tumbuh justru dinikmati oleh segelintir pengelola atau mitra.

Karenanya, revisi UU Pengelolaan Keuangan Haji seharusnya tak hanya bicara soal pasal baru, tapi arah baru. Arah yang menjadikan BPKH sebagai motor ekonomi umat.

Bayangkan jika sebagian dana haji diinvestasikan ke sektor riil: membangun hotel syariah di Makkah, mendukung industri makanan halal, atau menggerakkan koperasi petani yang memasok kebutuhan jamaah. Itu bukan hanya aman, tapi berkah. Umat tidak butuh laporan laba yang rumit, mereka hanya ingin yakin bahwa uang mereka bekerja untuk kebaikan.

BPKH seharusnya berani melangkah ke paradigma baru: dari safe and silent menjadi productive and prophetic. Mengelola dana bukan sekadar mencari keuntungan, tapi menebar manfaat yang nyata dan terukur.

Sebab pada akhirnya, investasi umat bukan soal berapa persen hasilnya, tapi seberapa besar keberkahannya. Dan kalau uang haji ini masih hanya berputar di meja-meja perbankan besar, sementara umat kecil tetap jadi penonton, maka judulnya bukan lagi “nilai manfaat.” Itu “nilai mengkhianat.”

 

Editor : Alim Perdana