PART 2 : Sepakat Untuk Tidak Sepakat: Ketika Ego Hampir Mengakhiri Segalanya

avatar ayojatim.com
Sosok perempuan yang putus asa. Foto: Ilustrasi/canva
Sosok perempuan yang putus asa. Foto: Ilustrasi/canva

Dalam hubungan, terutama pernikahan, tidak ada yang terus-menerus kuat. Kita semua punya batas, rasa lelah, dan suara yang ingin didengar.

Kebahagiaan tidak hanya soal mempertahankan rumah, tetapi merawat hati di dalamnya. Jangan takut berbicara saat lelah. Jangan menunggu badai untuk saling memahami.

Cinta sejati bukan sekadar bertahan, tetapi memilih tetap saling menggenggam, bahkan dalam keadaan rapuh.

Suara Yang Tak Pernah Kuteriakkan

Aku dulu yakin aku kuat. Sejak pertama kali janji itu terucap, sejak kami mengikat masa depan dengan seutas kata “iya”, aku percaya menjadi istri berarti bertahan.

Dalam segala kondisi. Dalam susah maupun susah. Karena aku ingin rumah ini tetap berdiri, meski gemetar di bawah bebannya. Karena aku ingin anak-anak tumbuh di bawah bayang-bayang ayah yang selalu ada.

Tapi ada hal yang tak pernah aku utarakan. Ada hal yang aku simpan di balik napas panjang dan senyum yang dipaksakan.Aku lelah. Bukan lelah karena mencintai dia terlalu dalam.

Bukan lelah karena menjalani pernikahan yang tidak semerdu kata-kata orang. Tapi lelah menjadi orang yang selalu “kuat”. Lelah menyimpan segalanya sendirian.

Kilau Sebelum Badai

Dulu, rumah kami bersinar dengan hal-hal sederhana yang terasa besar. Pagi selalu dimulai dengan tawa kecil yang saling melemparkan kopi hangat, dan senyum itu tidak pernah terasa terlalu cepat habis. Ia mengajari aku menaruh sabar di setiap langkah, seperti menabur benih meskipun tanahnya capai.

Pagi-pagi kami berjalan kaki beriringan menuju pasar kecil di ujung gang. Suara ayam berkokok, bau gula merah, dan tawa pedagang membuat langit rumah terasa luas. Aku menyukai bagaimana ia memegang tanganku dengan tenang, seakan memupuk keberanian untuk hari-hari yang belum pasti.

Malam datang dengan rutinitas yang sederhana namun penuh magis: kami duduk di teras sambil menatap bintang yang belum akrab dengan hiruk-pikuk kota. Ia bercerita tentang mimpi-mimpi sederhana, membangun rumah yang hangat untuk anak-anak, menanam kebun kecil di halaman belakang, dan sebuah liburan singkat ke pantai ketika matahari tenggelam.

Aku merespons dengan tawa yang lembut, meskipun dalam hati aku tahu kami saling menahan napas untuk menjaga kebahagiaan itu tetap utuh.

Kami sering menghabiskan sore tanpa kata-kata yang berlebih. Ada kedalaman dalam keheningan kami yang terasa seperti pelukan yang tak perlu diucapkan. Ia menaruh kepastian di rambutku saat aku capek, membisikkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dan aku percaya. Karena pada saat itu, rumah ini terasa seperti tempat di mana aku tidak perlu berteriak untuk didengar.

Lahirnya anak-anak membuat kami belajar lagi bagaimana cinta bekerja. Mereka adalah nada-nada kecil yang kami pelajari bersama: menangis, tertawa, belajar berjalan, dan merangkai kalimat pertama.

Aku melihat bagaimana ia menahan air mata saat mereka menirukan suaranya, bagaimana ia lebih sabar daripada yang pernah kubayangkan. Pada momen itu, aku merasa rumah kami bukan sekadar tempat tinggal, tetapi sebuah alat musik yang dimainkan oleh dua orang yang saling melengkapi.

Setiap perpisahan kecil yang kami atasi membuat kami merasa rumah ini lebih kuat. Kami menambal luka dengan pelukan panjang, mengikat janji tanpa harus mengucapkan kata-kata formal.

Aku percaya, pada masa-masa itu, kami benar-benar berjalan sejajar, meskipun kadang akhirnya saling menarik ke arah yang berbeda karena kenyataan hidup yang keras.

Namun, di balik tawa dan kebersamaan itu, ada bisik kecil yang tidak pernah terucap juga: bahwa aku ingin tetap dihargai, didengar, dan dipahami tanpa harus menunggu badai besar untuk datang. Bahwa di dalam kebahagiaan itu, aku juga ingin ada ruang untuk mengakui rasa lelah yang sudah lama kutahan.

Malam Itu, Setelah Kata “Masing-Masing”

Di bawah lampu yang redup, aku duduk di sofa, mataku menatap kosong ke dinding. Kata-kata itu telah terucap, seperti batu besar yang aku lempar ke danau tenang.

Dia berdiri, membasuh wajahnya di kamar mandi. Aku mendengar suara air mengalir, lalu langkah kakinya yang kembali mendekat. Dia duduk di sebelahku, berbicara dengan suara lembut yang penuh beban.

"Kamu ingat waktu kita di dapur itu, saat aku bilang kita saling belajar?" suaranya pelan, hampir berbisik.Aku mengusap air mata yang tak kuundang, mengangguk.

"Aku ingat. Aku nyaris lupa, tapi aku ingat."

Dia menarik napas panjang.

"Aku tahu aku sering lupa untuk dengar kamu lebih dalam. Aku juga lelah, tapi aku tak mau kita berpisah karena kelelahan itu."

Aku mencari keberanian untuk membuka hati, menggenggam tangannya erat.

"Aku lelah, tapi aku takut bilang itu. Aku takut kamu pergi."Dia menatapku mata dalam mata. "Aku nggak akan pergi. Aku ada di sini. Untuk kamu, untuk anak-anak kita."

Saat itu, semua ketegangan dan beban terasa turun perlahan. Aku merasa hatiku yang keras mulai mencair.

Aku ingin berkata “Terima kasih sudah bertahan,” tapi semua keluar dalam tangis yang pecah, suara yang selama ini kusembunyikan.

Dia merangkulku tanpa kata, pelukan itu adalah janji bahwa kami akan saling memeluk di tengah badai ini. Bahwa pernikahan bukan tentang siapa yang benar, tapi tentang siapa yang memilih untuk tetap tinggal.

Penulis : AMLJ - Surabaya

Editor : Amal Jaelani