PART 1 : Sepakat Untuk Tidak Sepakat: Ketika Ego Hampir Mengakhiri Segalanya

avatar ayojatim.com
Pertengkaran pasangan dalam rumah tangga. Foto: Ilustrasi
Pertengkaran pasangan dalam rumah tangga. Foto: Ilustrasi

Berumah tangga, dan memutuskan untuk hidup bersama orang lain adalah seni seumur hidup. Menyatukan dua isi kepala menjadi sebuah visi jangka panjang bukanlah sesuatu yang mudah, tapi seberat dan seburuk apapun situasinya, sebenarnya hanya butuh satu sikap, BERTAHAN.

Malam itu udara begitu pengap. Bukan karena cuaca, tapi karena segala sesuatu yang tak terkatakan memenuhi ruang di antara kami. Kata-kata yang menggantung, ego yang saling menebal, dan luka-luka lama yang tak pernah benar-benar sembuh.

Pertengkaran itu kembali pecah. Lagi.

Bukan karena sesuatu yang besar, bukan perselingkuhan, bukan pengkhianatan, bukan pula karena rasa cinta yang memudar. Hanya karena sesuatu yang kecil, sepele, dan mungkin memalukan untuk diakui: EGO

Sudah hampir seminggu sebelumnya kami terjebak dalam siklus yang sama: ribut, baikan, ribut lagi. Seolah-olah kami sedang berlari mengitari lingkaran penuh duri tanpa tahu bagaimana keluar darinya.

Kami berdua merasa tidak dihargai.
Kami berdua merasa paling berkorban.
Kami berdua merasa paling lelah.
Dan di balik itu semua, kami juga sama-sama takut untuk mengakuinya.

“Apa kita harus masing-masing saja? Kita fokus saja sama anak-anak,” suara istriku terdengar lirih, serak, tetapi juga tajam, seolah kalimat itu telah ia simpan lama dalam dadanya.

Ia tidak menatapku. Justru itu yang paling menyakitkan.

Aku tahu ia lelah. Aku tahu beban hidup menumpuk terlalu lama dalam kepalanya: berpindah-pindah kontrakan, kehilangan motor yang selama ini menjadi kaki pencari nafkah, pemasukan yang tak tentu, dan rasa terasing dalam hidup yang seperti enggan memberi kami jeda.

“Aku capek… aku lelah. Nasib kita nggak pernah berubah…” katanya lagi. Kali ini suaranya pecah.

Aku menatapnya lama, tanpa kata. Emosiku sendiri sebenarnya sudah sampai ubun-ubun. Aku juga ingin marah. Ingin berteriak. Ingin menunjukkannya bahwa aku pun lelah. Bahwa aku pun ingin disandari, bukan hanya menjadi tempat bersandar.
Tapi aku diam.

Karena aku tahu, di saat seperti itu, yang ia butuhkan bukan lawan, bukan alasan, bukan nasihat. Yang ia butuhkan hanya seseorang yang tetap tinggal.

“Kalau memang kita harus masing-masing,” suaraku pelan, “bagaimana dengan anak-anak?”
Ia tak menjawab. Hanya isakan yang semakin keras.

Malam itu kami tidur tanpa kata. Tetapi tidur hanya membuat semuanya menggantung lebih lama.

Keesokan harinya, kami tetap diam.

Aku benci keadaan seperti itu, sunyi yang menggantung, seolah-olah ledakan hanya menunggu pemicunya. Aku selalu percaya, masalah harus selesai hari itu juga. Karena jika dibiarkan, ia akan membusuk dan menghitam di dalam hati.

Tapi ketika aku mencoba membuka pembicaraan, semuanya kembali pecah.

"Duarrr!"

Nada tinggi kembali naik. Air mata kembali jatuh.
Kalimat-kalimat yang seharusnya tidak pernah diucapkan justru terlepas begitu saja.

“Wes capek aku!” seru istriku. “Kalau kamu mau pergi, pergilah! Aku bisa hidup sendiri sama anak-anakku!”

Matanya merah, namun di balik keberaniannya ada gemetar halus yang hanya bisa dilihat oleh seseorang yang pernah mencintai begitu dalam.

“Suatu saat entah siapa yang pergi duluan,” lanjutnya, “tapi aku janji nggak akan menikah lagi. Pernikahan ini… cukup. Aku cuma mau fokus sama anak-anak.”

Aku menutup mata. Ingin rasanya mengiyakan.
Ingin menyerah. Ingin berhenti berperang atas nama cinta yang bahkan kami sendiri tidak yakin masih punya bentuknya.

Tapi kakiku justru bergerak menuju kamar mandi.
Air dingin membasuh wajah. Wudhu menenangkan dadaku. Dan aku sholat, dengan kata-kata yang bahkan tidak lagi menjadi kata-kat. Hanya rasa, tangis, dan ketidakberdayaan yang aku serahkan pada Tuhan.

Tunai sholat, aku kembali, duduk disebelahnya, dan memulai obrolan kembali.

“Rasanya…” suaraku berat, “kita nggak harus ke sana. Kalau bukan demi kita, setidaknya untuk anak-anak.”

Ia diam. Matanya menunduk. Ada badai di dalam dirinya, aku tahu itu. Ia mungkin tidak bermaksud mengucapkan semuanya. Ia hanya butuh tempat jatuh. Sama sepertiku.

“Kalau kamu lelah, kamu boleh pergi,” lanjutku, “aku tahu kamu berhak bahagia. Tapi aku… aku tidak akan pergi. Aku akan tetap di sini. Untuk anak-anak kita.”

Ia menunduk, tapi ia tetap diam.
Sampai akhirnya…

Aku hanya mengulurkan tangan.

“Kita sudahi saja ributnya… Mari kita tutup. Ayo kita mulai lagi dengan niat yang lebih baik.”

Ia menatapku. Lama. Dan di dalam tatapan itu, aku melihat bukan kemarahan, bukan kebencian, bukan keputusan final.

Aku melihat ketakutan.
Ketakutan kehilangan.
Ia mendekat. Pelan. Ragu. Lalu kami saling merangkul. Erat. Seolah jika salah satu melepaskan, yang lain akan hancur.

“Maaf,” bisiknya.
“Maaf,” jawabku.

Dan dalam pelukan itu, aku tahu satu hal. Dalam rumah tangga, masalah tidak selalu membutuhkan solusi. Yang paling dibutuhkan adalah kebijaksanaan.

Kebijaksanaan untuk menerima perbedaan tanpa harus menang. Kebijaksanaan untuk berhenti berbicara sebelum kata-kata menjadi senjata.

Kebijaksanaan untuk mengalah, bukan karena kalah, tapi karena ingin bertahan. Karena cinta bukan tentang selalu sepakat dalam segala hal.

Cinta adalah sepakat untuk tidak sepakat, tapi tetap tinggal. Selalu tinggal.

Penulis : AMLJ - Surabaya

Editor : Amal Jaelani