Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur
ADA seorang kiai yang dikenal santun, cerdas, dan berpengaruh. Di dunia nyata, beliau dihormati banyak orang. Tapi begitu satu potongan video pendeknya viral di media sosial, persepsi publik tiba-tiba berubah.
Potongan itu diambil tanpa konteks, dikomentari, dipelintir, lalu dihakimi beramai-ramai. Dalam hitungan jam, wibawa yang dibangun puluhan tahun runtuh hanya karena satu unggahan berdurasi 17 detik.
Kisah itu mengingatkan kita pada zaman di mana klik lebih cepat dari zikir, dan jempol lebih tajam dari lisan. Inilah dunia maya, yang sebenarnya tak pernah benar-benar maya. Ia nyata. Ia menyentuh kehidupan, membentuk opini, bahkan menentukan reputasi seseorang.
Aib di Dunia Maya, Dosa di Dunia Nyata
Allah sudah memberi peringatan yang sangat jelas: “Janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?” (QS. Al-Hujurat: 12).
Ayat ini seolah menggema kembali di tengah derasnya arus media sosial. Ghibah kini punya bentuk baru, yaitu komentar pedas, sindiran halus di story, atau unggahan yang menyentil tanpa nama. Kita tak lagi perlu berbisik di warung kopi untuk membicarakan orang; cukup buka gawai, ketik sedikit, dan dosa pun tersebar ke seluruh jaringan.
Kita Hidup di Dua Dunia yang Saling BerCermin
Banyak orang berusaha tampil saleh di dunia nyata tapi bebas menghina di dunia maya. Padahal, dalam pandangan Allah, dua dunia itu satu realitas.
Apa yang kita tulis, komentari, atau sebarkan. Semuanya masuk dalam catatan amal. “Tidak ada satu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada malaikat pengawas yang mencatatnya.” Demikian alquran mengingatkan (QS. Qaf: 18).
Jadi, ketika kita menulis di kolom komentar, sebenarnya kita sedang menulis di buku catatan akhirat. Ketika kita menekan tombol “share”, kita sedang menentukan apakah pahala atau dosa yang akan viral bersama kita.
Era Baru, Etika Lama
Di tengah derasnya gelombang digital, nilai lama yang diajarkan Islam justru makin relevan: tabayyun sebelum menyebar, husnuzan sebelum menuduh, dan diam sebelum menyesal.
Kata Imam Al-Ghazali, “Lisan itu seperti pedang, bila tak dijaga, ia akan menebas pemiliknya sendiri.” Kini, pedang itu bernama jempol digital.
Dan betapa banyak hubungan hancur, nama baik rusak, bahkan nyawa melayang, hanya karena pedang itu dipakai tanpa akhlak.
Belajar Menjadi Muslim Digital
Generasi Z tumbuh dalam dunia tanpa batas, di mana identitas, opini, dan ekspresi berbaur dalam satu layar. Tantangannya bukan sekadar bagaimana menggunakan teknologi, tetapi bagaimana tetap berakhlak di tengah kebisingan digital. Sebab Islam tidak hanya mengatur cara kita salat dan berpuasa, tapi juga bagaimana kita bersikap saat online.
Akhlak digital berarti: Menjaga kehormatan diri dan orang lain; Tidak menebar hoaks, fitnah, atau aib; dan Menggunakan media sosial untuk menebar ilmu, inspirasi, dan kedamaian.
Bila dilakukan dengan niat yang benar, setiap status, unggahan, dan komentar bisa menjadi amal saleh. “Barang siapa menunjukkan kepada kebaikan, maka baginya pahala seperti orang yang melakukannya.” Begitu Rosulullah mengajarkan (HR. Muslim).
Jadi, membuat konten inspiratif, menyebarkan nasihat Qur’ani, atau sekadar menenangkan hati orang lain lewat tulisan, itu semua bisa jadi ibadah. Media sosial, kalau dipakai dengan niat baik, bukan ladang fitnah, tapi ladang pahala.
Refleksi
Dunia maya bukan ruang tandingan dunia nyata. Ia adalah perpanjangan moralitas kita. Kalau kita ingin dikenal santun, jujur, dan beradab di dunia nyata, kita harus memantulkan akhlak yang sama di dunia maya.
Sebelum menulis status, tanyakan satu hal sederhana: “Apakah Allah ridha jika aku menulis ini?” Kalau jawabannya ragu, maka lebih baik diam. Sebab dalam diam pun ada kemuliaan.
“Jangan biarkan jempolmu lebih cepat dari hatimu.”
Editor : Alim Perdana