Kenapa Doa Makan Bicara Neraka?

Doa makan bukan hanya soal permohonan agar perut kita kenyang, tapi sebuah pengingat bahwa setiap rezeki yang masuk ke tubuh kita akan dihisab. Foto/Baznas
Doa makan bukan hanya soal permohonan agar perut kita kenyang, tapi sebuah pengingat bahwa setiap rezeki yang masuk ke tubuh kita akan dihisab. Foto/Baznas

Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur

PERNAHKAH Anda bertanya, mengapa doa sebelum makan ditutup dengan kalimat “waqina adzaban-naar” (jauhkanlah kami dari siksa neraka)? Apa hubungannya antara nasi hangat di meja dengan api neraka di akhirat?

Sekilas, doa ini terasa janggal. Kita hanya ingin menyantap sepiring nasi dan lauk, tapi mengapa ujungnya justru bicara soal neraka?

Justru di situlah keindahan Islam. Doa makan bukan hanya soal permohonan agar perut kita kenyang, tapi sebuah pengingat bahwa setiap rezeki yang masuk ke tubuh kita akan dihisab. Dari mana asalnya? Halal atau haram? Bagaimana kita memanfaatkannya? Energi dari makanan ini akan dipakai untuk apa? Untuk taat atau maksiat?

Al-Qur’an sudah mengingatkan: “Kemudian kamu pasti akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu peroleh).” (QS. At-Takatsur: 8). Artinya, bahkan sesuap nasi pun kelak bisa menjadi saksi di hadapan Allah.

Makanan memang nikmat, tapi ia juga ujian. Ia bisa mengantar kita pada syukur, atau menjerumuskan kita pada kufur. Tidak sedikit orang yang rezekinya berlimpah, tapi lupa daratan. Ada juga yang asyik memamerkan kuliner mewah, namun lalai berbagi dengan tetangga yang kelaparan.

Doa sebelum makan itu sederhana, tapi mendidik jiwa. Bagian pertama: “Allahumma barik lana fima razaqtana” (Ya Allah, berkahilah rezeki yang Engkau anugerahkan kepada kami). Itu soal dunia: kita berharap makanan ini sehat, berkah, membawa tenaga.

Lalu ditutup dengan: “waqina adzaban-naar.” Itu soal akhirat. Agar makanan ini tidak menjadi sebab celaka. Agar nikmat ini tidak mengantar kita pada kealpaan.

Sejarah mencatat betapa para sahabat Nabi sangat hati-hati dalam urusan makanan. Abu Bakar ash-Shiddiq pernah diberi makanan oleh seorang budak. Setelah selesai makan, beliau baru tahu makanan itu berasal dari cara yang tidak jelas. Seketika beliau masukkan jarinya ke tenggorokan, memuntahkan makanan itu sambil berkata: “Seandainya makanan itu tidak keluar kecuali bersama nyawaku, maka aku akan keluarkan juga. Karena aku tidak ingin tubuhku tumbuh dari sesuatu yang haram.”

Itulah kesadaran yang kita butuhkan hari ini. Doa makan bukan basa-basi. Tapi adalah pengingat, bahwa nasi uduk di meja, kopi susu di gelas, atau sate kambing di piring, semuanya akan dimintai pertanggungjawabkan.

Mungkin inilah yang membedakan pola pikir Islam dengan pola hidup hedonis. Islam mengembangkan pola pikir bahwa Kita boleh menikmati makanan enak, tapi jangan lupa: setiap suap membawa tanggung jawab.

Jadi, lain kali ketika kita berdoa sebelum makan, jangan anggap doa itu rutinitas. Resapi maknanya. Ada permohonan berkah, ada peringatan neraka. Dua-duanya membuat kita lebih sadar: bahwa yang masuk ke perut ini akan menentukan jalan hidup, bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat.

Makanlah dengan syukur, nikmatilah dengan adab, dan semoga setiap suapan menjadi jalan menuju surga, bukan sebaliknya.

Editor : Alim Perdana