Mengapa Program MBG Harus Dihentikan?

Seorang siswa sedang menikmati Makan Bergizi Gratis (MBG). Foto: Tangkapan layar akun instagram @lasmi.yaty.9
Seorang siswa sedang menikmati Makan Bergizi Gratis (MBG). Foto: Tangkapan layar akun instagram @lasmi.yaty.9

Di tengah derasnya arus politik populis dan kebijakan simbolik, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi salah satu program yang dielu-elukan sebagai solusi terhadap stunting dan gizi buruk. Namun, di balik retorika muluk dan janji-janji politik, terdapat realitas kompleks yang

tak bisa diabaikan: program ini mengandung kelemahan serius yang menyentuh ranah konstitusional, sosial, ekonomik, empirik, dan politik.

Sudah saatnya bangsa ini membuka
mata dan bertanya secara jujur dan berani: Apakah program MBG benar-benar solutif, atau justru menjadi beban yang membelenggu?

I. Aspek Konstitusional: Mengingkari Prinsip Keadilan Sosial

Konstitusi Indonesia menjunjung tinggi asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan sila ke-5 Pancasila). Program MBG, yang dirancang sebagai intervensi gizi melalui makan siang gratis di sekolah, tampak seperti program “untuk semua”.

Namun justru di sinilah letak masalahnya. Kebijakan yang seragam dan massal tanpa targeting yang jelas mengabaikan prinsip
keadilan distributif. Anak-anak dari keluarga mapan menerima manfaat yang sama dengan mereka yang benar-benar miskin. Negara akhirnya mendistribusikan subsidi kepada yang tidak membutuhkan, sembari tetap gagal menyentuh akar persoalan di komunitas marjinal yang bahkan tidak memiliki akses ke sekolah formal.

Dengan kata lain, MBG bukan hanya kebijakan boros, tapi juga tidak konstitusional karena menyamaratakan kebutuhan yang berbeda-beda tanpa pendekatan yang context-sensitive.

II. Aspek Sosial: Mengabaikan Kearifan Lokal dan Merusak Ketahanan Pangan Komunitas

Secara sosiologis, MBG merupakan bentuk kebijakan top-down yang mengabaikan struktur sosial dan kearifan lokal. Alih-alih memberdayakan komunitas, program ini mendatangkan paket makanan dari penyedia terpusat, dengan menu yang sering kali tidak sesuai dengan budaya makan anak-anak di berbagai daerah.

Lebih buruk lagi, kasus keracunan massal akibat MBG telah dilaporkan di berbagai provinsi, menandakan lemahnya pengawasan dan kualitas distribusi makanan.

Anak-anak menjadi korban dari sistem logistik yang tidak siap secara infrastruktur, sumber daya manusia, dan standar keamanan pangan. Ketika negara memaksakan satu solusi untuk semua tanpa mendengarkan suara rakyat di bawah, ia tidak sedang menyelesaikan masalah, tapi menciptakan bom waktu sosial.

III. Aspek Ekonomik: Beban Anggaran yang Tidak Proporsional

Dari perspektif fiskal, MBG adalah program dengan beban anggaran fantastis. Di tengah defisit APBN dan utang negara yang terus membengkak, pemerintah berencana mengalokasikan triliunan rupiah per tahun untuk makan siang gratis.

Padahal, hasil studi empirik di banyak negara berkembang menunjukkan bahwa efek gizi
dan pendidikan dari program sejenis sangat terbatas jika tidak dibarengi dengan reformasi sanitasi, akses air bersih, edukasi keluarga, dan layanan kesehatan dasar.

Dengan kata lain, cost-to-impact ratio program MBG sangat buruk. Ia membakar miliaran rupiah untuk hasil yang tidak sepadan. Kebijakan ini lebih menyerupai program simbolik untuk pencitraan politik dibanding solusi berorientasi hasil (result-based policy).

IV. Aspek Empirik: Data Tidak Mendukung Keberhasilan Program

Data menunjukkan bahwa di banyak wilayah, program MBG:

• Tidak menurunkan angka stunting secara signifikan, karena stunting bukan semata-mata akibat kurang makan, melainkan multifaktor: sanitasi buruk, infeksi kronis,
rendahnya pengetahuan gizi ibu, dll.

• Seringkali menyebabkan anak-anak menderita sakit perut, muntah, bahkan keracunan, akibat makanan yang tidak higienis, basi, atau tidak terstandar.

• Tidak meningkatkan prestasi belajar secara konsisten. Penelitian menunjukkan bahwa performa akademik lebih berkorelasi dengan kualitas pengajaran, lingkungan rumah, dan kondisi psiko-sosial, bukan sekadar makan siang.

Dengan kata lain, evidence-based policy justru menunjukkan bahwa MBG bukanlah jalan keluar yang efektif. Mengabaikan data dan tetap memaksakan program ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap akal sehat dan integritas kebijakan publik.

V. Aspek Politik: Populisme dan Polarisasi Kepentingan

Tidak bisa disangkal bahwa MBG adalah produk populisme elektoral. Ia dijanjikan sebagai gula-gula politik, bukan hasil kajian akademik atau kebutuhan masyarakat. Ketika kebijakan publik ditunggangi kepentingan elektoral, maka yang terjadi adalah instrumentalisasi rakyat demi suara, bukan pelayanan yang tulus demi keadilan.

Program ini juga membuka ruang lebar bagi korupsi terstruktur, karena melibatkan pengadaan massal, kontraktor makanan, hingga distribusi logistik di seluruh Indonesia.

Dalam konteks politik Indonesia yang lemah dalam pengawasan, MBG berpotensi menjadi ladang “bancakan” baru yang menyamar sebagai amal.

VI. Alternatif yang Lebih Bijak: Belajar dari Belgia

Alih-alih membagi makan gratis untuk semua, pemerintah Belgia menjalankan pendekatan yang lebih terarah dan bermartabat:

1. Targeting berbasis data: bantuan makan hanya diberikan pada keluarga dengan tingkat ekonomi tertentu.

2. Voucher gizi: diberikan kepada keluarga untuk digunakan di tempat-tempat makan sehat yang telah tersertifikasi.

3. Edukasi gizi di sekolah dan rumah tangga: anak dan orang tua dilibatkan dalam proses literasi pangan.

4. Fokus pada kualitas bukan kuantitas: tidak mengejar volume distribusi, tetapi kualitas pangan dan dampak jangka panjang terhadap kesehatan.

Model seperti ini jauh lebih berdaya guna, hemat anggaran, dan memberdayakan, karena menempatkan rakyat sebagai subjek, bukan objek pasif dari program pemerintah.

VII. Penutup: Kembali ke Akar Etika Publik

Secara filosofis, kebijakan publik bukan sekadar soal apa yang bisa dilakukan oleh negara, tapi apa yang seharusnya dilakukan demi kebaikan bersama. Program MBG mencerminkan kesalahan fatal dalam prioritas moral negara: mengutamakan popularitas di atas
kebermanfaatan.

Kita tidak sedang anti terhadap pemberantasan stunting. Kita mendukung penguatan gizi anak bangsa. Tapi solusinya bukan MBG, melainkan pendekatan holistik, partisipatif, dan berbasis data. Sudah waktunya kita memilih jalan yang sulit tapi benar, bukan jalan yang populer tapi menyesatkan.

Karena ketika negara salah mendidik anak-anaknya tentang makna ketergantungan, maka ia sedang menabur generasi yang lemah, rentan, dan kehilangan daya juang.

Mari kita suarakan: Hentikan Program MBG. Bangun Kebijakan yang Mencerdaskan.

 

Penulis :

Ludovicus Mardiyono, SH., M.Div.

Editor : Amal Jaelani