Menangani Dugaan Korupsi Kuota Tambahan Haji  Dengan Tetap Menjaga Kepentingan Diplomasi

Oleh: Ulul Albab
Akademisi Administrasi Publik, Ketua ICMI Orwil Jawa Timur, Penulis Buku “Agama Mengajarkan Anti-Korupsi”

KITA semua pasti setuju bahwa KPK adalah garda terdepan dalam perang melawan korupsi. Tetapi kita juga tahu, dalam praktik politik di negeri ini, seringkali isu korupsi berkelindan dengan dinamika kekuasaan.

Kasus dugaan korupsi pembagian kuota haji tambahan tahun 2024 misalnya, tidak sedikit pengamat menilai ada aroma politik di baliknya.

Ada yang beranggapan, kasus ini dimunculkan karena ada kepentingan politik untuk melemahkan posisi Menteri Agama kala itu.

Analisis ini tidak dimaksudkan untuk menutup mata terhadap dugaan korupsi. Korupsi tetaplah korupsi, harus ditindak. Namun, kita juga tidak boleh menutup mata bahwa: pemberantasan korupsi tidak pernah berada di ruang hampa politik.

Haji sebagai Diplomasi

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa urusan dan persoalan Haji bukan hanya urusan ibadah. Di dalamnya ada urusan tentang diplomasi. Hubungan Indonesia–Arab Saudi dalam urusan kuota haji adalah hubungan yang amat sensitif.

Pemerintah Saudi menilai kredibilitas suatu negara bukan hanya dari aspek teknis penyelenggaraan, tapi juga dari stabilitas politik dalam negeri.

Jika isu dugaan korupsi ini terus digoreng tanpa kendali, ada risiko kepercayaan pemerintah Saudi kepada Indonesia akan menurun.

Dan dampaknya tidak main-main: bisa saja memengaruhi penentuan kuota haji tahun 2026. Artinya, jutaan jamaah Indonesia bisa menjadi korban politik dari persoalan yang sesungguhnya tidak mereka pahami.

KPK dan Kepentingan Nasional

Pada titik inilah, KPK dituntut untuk bijaksana. Penegakan hukum harus tetap berjalan, tetapi dengan perhitungan dampak strategis.

KPK bisa tetap melanjutkan penyelidikan, tetapi perlu menghindari langkah-langkah yang berlebihan atau dipersepsikan sebagai politisasi.

Prinsip proportionality dalam hukum administrasi mengajarkan bahwa setiap keputusan harus menimbang manfaat dan mudaratnya.

Pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan cara yang tidak merusak stabilitas nasional, apalagi merugikan kepentingan umat yang jauh lebih luas.

Jalan Tengah: Tegas tapi Bijak

Apa yang bisa dilakukan? Pertama, KPK harus membuka ruang komunikasi dengan Kemenag, DPR, dan Asosiasi Penyelenggara Haji, agar proses hukum berjalan tanpa menimbulkan kegaduhan.

Kedua, publikasi temuan harus dijaga, supaya tidak dimanfaatkan oleh kepentingan politik tertentu. Ketiga, KPK bisa mengedepankan strategi “law enforcement with diplomacy”, yakni tetap tegas, tetapi memperhatikan dampak diplomatiknya.

Korupsi tetaplah musuh bersama. Namun dalam kasus haji, pemberantasan korupsi tidak boleh menimbulkan luka baru yang justru merugikan jamaah dan bangsa Indonesia sendiri.

Kita berharap KPK bisa tetap menjalankan amanahnya, tetapi dengan kebijaksanaan layaknya seorang negarawan. Karena di atas segala kepentingan politik, ada kepentingan yang lebih besar, yaitu: menjaga kehormatan bangsa di mata dunia, dan memastikan jutaan jamaah calon haji yang antri menunggu giliran berangjkat bisa tenang.

 

 

Editor : Alim Perdana