Ngopi Sore: Pulang dalam Kenangan, di Ujung Senja Jakarta

avatar ayojatim.com
Ketua Jaringan Pengusaha Nasional Jawa Timur (Japnas Jatim), Mohammad Supriyadi. Foto: Dok-Pribadi
Ketua Jaringan Pengusaha Nasional Jawa Timur (Japnas Jatim), Mohammad Supriyadi. Foto: Dok-Pribadi

Jakarta, dengan segala gegap gempita dan hiruk-pikuknya, memang tak pernah tidur. Gedung-gedung menjulang, jalanan macet, dan waktu yang berjalan serba cepat menjadikan kota ini simbol ambisi dan perubahan.

Sore ini, Rabu 6 Agustus 2025, ketika matahari mulai rebah di ufuk barat, saya duduk di sudut ibu kota dengan secangkir kopi. Entah kenapa setiap seruput kopi tiba-tiba seolah membawa hati ini melanglang pulang menuju tanah kelahiran, Madura.

Bagi saya, ditengah aktivitas padat menghadiri berbagai agenda, menikmati kopi sore telah menjadi sebuah rutinitas. Bukan hanya sebagai ritual, namun juga telah menjadi jembatan batin untuk pulang ke tanah kelahiran.

Dulu, di teras rumah, menikamti kopi masih diseduh bukan dengan mesin, tapi dengan air dari ceret tua dan dimasak dengan api kayu bakar, serta lenguhan sapi dari ladang belakang rumah, hidup terasa utuh.

Kadangkala ada tetangga lewat, menyapa dari jalan tanah di depan rumah. Mereka tidak membawa berita besar, hanya cerita keseharian mereka hari itu. Soal panen tembakau, soal anak yang mau merantau ke Surabaya, atau tentang undangan tahlilan di ujung dusun. Tapi semua itu membuat hati hangat, seperti kopi hitam dalam gelas kaca berembun.

Kini, di tengah kota Jakarta, dengan rasa kopi yang sama, namun sudah dengan suasana yang tak lagi sama.

Bau tanah sehabis hujan terganti aroma aspal dan asap perkotaan. Suara ternak dan hewan sawah terganti deru gemuruh mesin dan klakson kendaraan. Tak ada lagi suara tetangga berseloroh, hanya notifikasi dari ponsel yang tak kunjung diam.

Namun, setiap tegukan kopi tetap membawa kita kembali. Seolah ada lorong waktu yang tersembunyi dalam rasa pahit-manis itu seolah mengantar kita pada masa ketika hidup berjalan lebih pelan, ketika kebahagiaan cukup dengan hal-hal yang lebih sederhana. Segelas kopi, interaksi dengan para tetangga, dan obrolan ringan tentang aktivitas mereka dan mimpi-mimpi yang dibangun oleh para pemuda desa.

Madura mengalir dalam darah kita. Sebuah pulau kecil dengan jiwa besar. Dari tanah yang kering dan terjal, lahirlah manusia-manusia tangguh. Mereka yang terbiasa hidup sederhana, tapi menyimpan kekuatan luar biasa dalam diam. Tak banyak bicara, tapi banyak bekerja. Tak selalu tampil mencolok, tapi selalu pulang membawa hasil.

Zaman memang berubah. Dunia jadi serba cepat, serba digital. Tapi hati ini tetap punya akar. Dan akar itu tertanam di tanah Madura tanah yang mengajarkan arti keteguhan, kesetiaan, dan kesederhanaan.

Ngopi sore, bagi sebagian orang, hanyalah jeda. Tapi bagi kami, itu adalah bentuk perlawanan kecil. Agar kami tak lupa, bahwa sejauh apa pun kaki melangkah, ada kampung halaman yang selalu menyambut.

Dan di setiap senja yang jatuh di Jakarta, secangkir kopi menjadi ziarah kecil pada masa lalu, pada tanah yang membentuk siapa kita hari ini.

Penulis : Mohammad Supriyadi

Ketua Jaringan Pengusaha Nasional Jawa Timur (Japnas Jatim)

Ketua umum Ikatan Alumni Widya Gama Malang (Ikawiga)

Editor : Amal Jaelani