Hapus Umrah Mandiri Demi Perlindungan Jamaah

Oleh: Ulul Albab
Ketua Bidang Litbang DPP Amphuri
Ketua ICMI Orwil Jatim

RUU perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah saat ini tengah dibahas intensif oleh pemerintah dan DPR.

Salah satu isu paling kontroversial yang muncul dari draf RUU tersebut adalah legalisasi umrah mandiri, yaitu skema perjalanan ibadah umrah yang dilakukan oleh jamaah tanpa melalui Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) resmi.

Di satu sisi, legalisasi ini diklaim sebagai bentuk “pembukaan akses” dan kebebasan beragama. Namun di sisi lain, pasal-pasal yang mengatur umrah mandiri justru membuka celah penyimpangan serius dalam perlindungan jamaah, akuntabilitas penyelenggara, dan potensi maraknya praktik percaloan yang tak terkontrol.

Tanpa pengaturan yang ketat, legalisasi umrah mandiri bukanlah inovasi, melainkan kemunduran dalam profesi perlindungan jamaah.

Lebih jauh, legalisasi umroh mandiri itu mengkhianati semangat regulasi yang selama ini diperjuangkan untuk menata penyelenggaraan ibadah secara profesional, aman, dan bermartabat.

Celakanya Umrah Mandiri

Pasal 86 ayat (1) RUU menyebutkan bahwa umrah dapat dilakukan melalui PPIU, secara mandiri, atau oleh Kepala Badan dalam keadaan darurat. Redaksi ini secara eksplisit melegalkan umrah mandiri.

Secara kasat mata, pasal ini memberikan pilihan lebih luas kepada masyarakat. Tapi secara substansi, legalisasi ini justru menormalisasi praktik umrah di luar sistem resmi negara.

Lebih parah, RUU juga mengatur teknis umrah mandiri melalui Pasal 87A dan Pasal 88A, yang memberi hak bagi jemaah mandiri untuk membuat kontrak langsung dengan penyedia layanan.

Layanan yang dimaksud bisa berupa tiket, akomodasi, transportasi, bahkan bimbingan manasik. Namun tidak ada kejelasan tentang siapa penyedia ini: apakah harus berbadan hukum? Apakah wajib terdaftar di Kemenag? Apakah tunduk pada pengawasan? Semua abu-abu.

Dan bahayanya, bisa membuka peluang bagi siapa saja, termasuk non muslim, terjun di bisnis layanan umroh mandiri. Bahkan bisa jadi oligarki. Seperti bisnis aplikasi selama ini, kelihatannya modern tapi dampaknya mencabut akses usaha masyarakat maupun UMKM.

Gojek pangkalan hilang, warung UMKM diatur dan harus nurut aturan aplikasi. Semua pelan-pelan akan tergusur pada akhirnya. Dan negara diam-diam saja.

Legalisasi umroh mandiri jelas banyak mudhorotnya ketimbang manfaatnya. Implikasinya bisa sangat berbahaya, pasar umrah akan dibanjiri “penyelenggara liar” dengan tumbuhnya agen, calo, atau entitas tidak resmi yang menawarkan paket murah tanpa jaminan layanan dan perlindungan.

Keadaan ini akan menciptakan ketimpangan regulasi. PPIU resmi diwajibkan memenuhi syarat ketat dan diawasi, sementara penyedia umrah mandiri bebas beroperasi tanpa batas.

Negara Hadir Tapi Tak Melindungi?

Kontradiksi makin tampak dalam Pasal 96 dan 97, yang mengecualikan jemaah umrah mandiri dari hak perlindungan. Artinya, negara melegalkan umrah mandiri, tapi pada saat yang sama mencabut perlindungan bagi jemaahnya. Jika terjadi penelantaran, gagal berangkat, atau tidak dipulangkan, siapa yang bertanggung jawab? Tidak ada.

Model seperti ini tak hanya inkonsisten, tapi juga inkonstitusional. Dalam UUD 1945 Pasal 28D dan Pasal 29, negara dijamin hadir untuk melindungi hak warga negara, termasuk dalam menjalankan ibadah.

Maka ketika negara membolehkan suatu praktik keagamaan tetapi menolak memberikan perlindungan hukum atasnya, ini adalah kekeliruan serius dalam desain kebijakan publik.

Risiko Sosial dan Ekonomi

Legalisasi umrah mandiri juga memiliki efek domino yang tak bisa diabaikan. Dari sisi sosial, akan muncul kelompok jamaah tanpa pendampingan ibadah, yang menjalani ritual umrah tanpa bimbingan memadai. Hal ini sangat bertentangan dengan semangat umrah yang maqbulah.

Secara ekonomi, PPIU resmi yang selama ini telah membangun sistem dan ekosistem penyelenggaraan berbasis pelayanan dan kepatuhan hukum, akan tersaingi secara tidak adil oleh praktik-praktik liar yang menawarkan harga lebih murah tapi tanpa kualitas.

Selain itu, potensi penipuan, penggelapan dana, atau pemalsuan dokumen akan semakin besar. Sudah terlalu banyak kasus jamaah tertipu agen perjalanan tidak resmi, dan kini praktik itu justru hendak dilegalkan oleh undang-undang.

Solusi: Tegas dan Terukur

Karena itu, solusi terbaik adalah menghapus seluruh klausul tentang umrah mandiri dari RUU. Pasal 86 seharusnya hanya menyebut: “Perjalanan ibadah umrah dilakukan melalui PPIU atau oleh Kepala Badan dalam keadaan luar biasa.” Dengan begitu, semua perjalanan tetap berada dalam koridor kelembagaan yang bisa diawasi dan dievaluasi.

Pasal 87A, 88A, serta frasa pengecualian dalam Pasal 96 dan 97 juga harus dihapus. Alih-alih melegalkan umrah mandiri, negara seharusnya memperluas akses PPIU resmi hingga ke daerah-daerah pelosok, dan menyederhanakan mekanisme perizinan bagi pelaku usaha yang serius ingin bergabung dalam sistem resmi.

Adapun Pasal 94A tentang penguatan ekosistem ekonomi umrah tetap bisa dipertahankan, namun dengan penegasan bahwa semua kerja sama hanya boleh dilakukan oleh atau melalui PPIU berizin.

Jangan Kendurkan Sistem yang Sudah Terbangun

Selama bertahun-tahun, Indonesia telah membangun sistem penyelenggaraan umrah yang makin tertib. Dari pengawasan, standarisasi layanan, hingga integrasi data dan pelaporan elektronik. Semua ini akan sia-sia jika kita membuka kembali celah pelanggaran melalui pintu yang bernama umrah mandiri.

RUU ini harus berpihak pada jamaah. Dan keberpihakan itu hanya akan terwujud bila negara mengatur dengan tegas dan hadir secara penuh dalam memastikan perlindungan setiap warga yang menunaikan ibadah umrah. Jangan biarkan pasar liar mengacak-acak ibadah suci ini.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Editor : Alim Perdana