Pakar UNAIR Soroti Dampak Ekonomi Memanasnya Perang Iran-Israel

Ketegangan antara Iran dan Israel semakin meningkat seiring dengan serangan yang terus dilancarkan oleh kedua negara. Foto/BBC
Ketegangan antara Iran dan Israel semakin meningkat seiring dengan serangan yang terus dilancarkan oleh kedua negara. Foto/BBC

SURABAYA - Ketegangan antara Iran dan Israel semakin meningkat seiring dengan serangan yang terus dilancarkan oleh kedua negara. Pada Selasa (17/6/2025), kedua belah pihak terlibat dalam serangan yang merupakan bagian dari konfrontasi paling intens dalam sejarah mereka.

Situasi ini membawa dampak signifikan terhadap perekonomian, baik di tingkat internasional maupun domestik.

Menanggapi perang Iran vs Israel, guru besar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (UNAIR) memberikan pandangannya.

Prof. Rossanto Dwi Handoyo, SE, M.Si, Ph.D, menjelaskan bahwa perang ini berpotensi mengganggu pasokan dan permintaan minyak global. Sebagai salah satu negara pengekspor minyak terbesar, Iran dapat menyebabkan lonjakan harga minyak, yang akan berdampak pada biaya produksi di seluruh dunia.

"Banyak negara masih tergantung pada minyak, sehingga kenaikan harga ini dapat memicu inflasi internasional jika berlangsung dalam waktu lama. Jika konflik ini berlangsung lama seperti yang terjadi antara Rusia dan Ukraina, dunia bisa mengalami ketidakstabilan harga yang berujung pada stagflasi," ungkap Rossanto.

Lebih lanjut, ia menyoroti pentingnya lokasi Iran dan Israel sebagai jalur pelayaran utama. Konflik di wilayah ini dapat memaksa negara-negara untuk mencari rute perdagangan alternatif, yang bisa berakibat pada peningkatan biaya logistik.

"Ketegangan ini menciptakan ketidakpastian ekonomi global, yang membuat investor berpikir dua kali sebelum berinvestasi, terutama di negara-negara Arab. Hal ini dapat menurunkan investasi global dan berimbas pada menyusutnya perdagangan internasional," tambahnya.

Sebagai negara pengimpor minyak, Indonesia akan merasakan dampak dari kenaikan harga minyak dunia. Meskipun neraca perdagangan Indonesia saat ini masih surplus, konflik ini dapat memperkecil surplus tersebut.

"Meskipun ekspor kita ke Timur Tengah tidak terlalu besar, namun posisinya sebagai jalur pelayaran menuju Eropa sangat vital. Jika terjadi masalah, biaya logistik ke Eropa akan meningkat, yang berpotensi mengurangi ekspor kita," ujar Prof. Rossanto.

Prof Rossanto menyarankan agar pemerintah mengambil langkah-langkah untuk melindungi pasar domestik dengan mengurangi impor.

"Jika ekspor mengalami penurunan, sebaiknya impor juga dikurangi. Produk yang selama ini diimpor sebaiknya digantikan dengan produk dalam negeri," jelasnya.

Ia juga menekankan pentingnya harmonisasi antara kebijakan fiskal dan moneter untuk mengatasi dampak dari perang ini.

Dalam kebijakan fiskal, pemerintah perlu mempertimbangkan tindakan perdagangan yang lebih restriktif, mengingat banyak negara yang menerapkan kebijakan serupa akibat tarif dari Amerika Serikat.

Dari sisi kebijakan moneter, Prof. Rossanto merekomendasikan pendekatan yang lebih ekspansif.

"Saatnya bagi Indonesia untuk lebih mengandalkan kekuatan dalam negeri di tengah ketidakpastian ekonomi global. Kebijakan moneter yang sedikit ekspansif, seperti penurunan suku bunga, dapat meningkatkan investasi dan kredit modal kerja, serta mendorong masyarakat untuk meminjam lebih banyak dari bank, sehingga roda ekonomi dapat bergerak," pungkasnya.

Editor : Alim Perdana