Haji Furoda 2025 dan Ujian Moralitas Bagi Pelaku Usaha Syariah

Oleh: Ulul Albab
Kabid Litbang DPP Amphuri
Ketua ICMI Jawa Timur

TAHUN 2025 menjadi salah satu momen paling menyedihkan dalam sejarah haji furoda Indonesia. Ribuan calon jamaah yang telah mendaftar melalui jalur non-kuota (dikenal dengan istilah haji furoda) dipastikan gagal berangkat setelah Pemerintah Arab Saudi tidak menerbitkan visa mujamalah tahun ini.

Bagi calon jamaah, ini tentu kabar yang sangat mengecewakan. Namun bagi penyelenggara, situasinya lebih kompleks: ada yang kini harus menghadapi proses hukum dengan tuduhan penipuan dan penggelapan.

Sebagai pribadi yang peduli pada tatakelola haji, saya merasa perlu menyuarakan perspektif yang lebih utuh dan adil atas situasi ini.

Bukan untuk membela kesalahan, melainkan untuk mengajak semua pihak melihat bahwa ini bukan sekadar kegagalan layanan, tapi juga cermin rapuhnya sistem, dan mungkin bisa jadi cermin gagalnya empati terhadap mereka yang telah berusaha maksimal namun tidak kuasa melawan kebijakan global.

Tidak Semua Kegagalan Adalah Kejahatan

Haji furoda, atau haji non-kuota, adalah jalur yang sah secara hukum internasional, karena menggunakan visa mujamalah yang diterbitkan langsung oleh otoritas Arab Saudi. Namun, di luar aspek legalitasnya, kita semua tahu bahwa penerbitan visa ini sangat tergantung pada keputusan sepihak Saudi, tanpa transparansi, tanpa jaminan.

Banyak pelaku travel telah menyewa hotel, menyiapkan transportasi, hingga memesan katering, karena selama bertahun-tahun sebelumnya, visa biasanya keluar mendekati puncak haji. Tapi tahun ini berbeda.
Bahkan hingga 4 Juni 2025, visa tidak kunjung diterbitkan. Bukan karena kelalaian travel, tapi karena kebijakan negara asing yang berubah tanpa penjelasan.

Namun sayangnya realitas hukum kita di Indonesia belum sepenuhnya mampu membedakan antara "niat jahat" (mens rea) dan "force majeure" (keadaan di luar kendali).

Saya ikut prihatin, ada pelaku haji furoda yang kooperatif dan bahkan datang untuk berniat mediasi dengan jamaah yang gagal berangkat, tapi justru diperiksa, diperlakukan seolah pelaku kriminal, hanya karena jamaahnya melapor dengan tekanan sosial: “Saya malu tidak jadi berangkat, maka saya lapor polisi.”

Perlindungan Hukum bagi Pelaku Usaha Syariah

Kita tidak menolak proses hukum. Tapi kita berharap ada ruang keadilan yang proporsional. Haji furoda bukan penipuan. Haji Furoda adalah layanan yang sah tapi penuh risiko kebijakan. Jika pelaku yang jujur dan terbuka ikut dikriminalisasi, maka siapa yang nanti berani mengembangkan layanan alternatif yang halal?

Kami berharap Kementerian Agama dan Komisi VIII DPR mulai serius mengkaji ulang posisi hukum haji furoda. Bukan untuk dilarang, tetapi untuk diberi kerangka regulatif yang jelas.

Antara lain mengenai: Bagaimana mitigasi risiko harus disampaikan ke jamaah?. Seperti apa standar refund bila visa gagal keluar?. Dan, bagaimana negara hadir untuk membedakan pelaku baik dan oknum?

Bagi sahabat-sahabat kami yang sedang berhadapan dengan proses hukum, saya ingin sampaikan: Anda tidak sendiri. Tetaplah jujur, dokumentasikan setiap langkah, dan jaga akhlak dalam menghadapi ujian ini. Allah tahu siapa yang berniat baik.

Dan bagi regulator serta aparat, mari kita bijak membaca konteks. Jangan sampai para pelaku usaha syar’i yang sedang membangun ekosistem halal malah patah arang karena kriminalisasi yang tidak adil.

Tulisan ini saya buat bukan untuk maksud membela kegagalan. Tapi untuk ikhtiar memperjuangkan keadilan dan ruang bernapas bagi pelaku usaha jujur yang menjadi korban system, korban kebijakan.

Semoga dari kejadian ini, lahir reformasi menyeluruh dalam tata kelola haji, baik reguler maupun furoda, yang lebih manusiawi, transparan, dan berkeadilan.

 

Editor : Alim Perdana