Tasyrik, Tiga Hari untuk Membuktikan Nilai Kurban

Warga antri daging kurban di Surabaya. Foto/Ali Masduki
Warga antri daging kurban di Surabaya. Foto/Ali Masduki

Oleh: Ulul Albab

SHOLAT Idul Adha sudah kita lakukan. Hewan kurban sudah banyak yang dipotong usai sholat Id dan daging kurban untuk sebagian telah dibagikan. Kini di tanggal 11 Dzulhijjah kita memasuki hari Tasyrik. Allah hadirkan Hari Tasyrik (tiga hari yang menjadi perpanjangan makna kurban), harus kita jadikan sebagai transformasi sosial.

Hari Tasyrik adalah tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah, dan merupakan bagian dari hari-hari besar yang dimuliakan dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda: "Hari-hari Tasyrik adalah hari makan, minum, dan berdzikir kepada Allah." (HR. Muslim).

Secara bahasa, tasyrik berasal dari kebiasaan masyarakat Arab zaman dulu yang mengeringkan daging kurban di bawah matahari, sebagai bentuk penyimpanan alami. Tapi substansi Hari Tasyrik jauh melampaui pengeringan daging. Tasyrik adalah waktu untuk menyalakan kembali makna kurban yang sejati, yaitu: ketakwaan, kepedulian, dan keberlanjutan amal sosial.

Tiga Hari untuk Mewujudkan Ibadah yang Berdampak

Dalam tiga hari tasyrik ini, umat Islam disunnahkan untuk: Melanjutkan takbir muqayyad (takbir setelah shalat fardhu), memperbanyak dzikir dan doa, serta menikmati nikmat makan dan minum dengan penuh rasa syukur.

Hari Tasyrik juga masih menjadi waktu sah untuk menyembelih hewan kurban bagi yang belum melakukannya pada hari Nahr. Namun, yang paling esensial adalah bahwa ibadah kurban tidak berhenti pada proses penyembelihan, tapi terus berlanjut dalam praktik kehidupan sosial.

Sayangnya, banyak dari kita yang memaknai Hari Tasyrik sebatas "sisa libur Idul Adha". Padahal, inilah saatnya kita benar-benar membuktikan: apa yang telah kita sembelih sebenarnya? Hewan semata, atau ego dan keakuan kita juga?

Menjaga Bara Semangat Kurban

Allah menegaskan dalam Al-Qur’an: "Daging dan darah hewan kurban itu tidak akan sampai kepada Allah. Tapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kalian.".(QS. Al-Hajj: 37).

Ayat ini menjadi refleksi mendalam bahwa nilai ibadah, khususnya kurban, bukan pada bentuk lahiriah semata, melainkan pada semangat ketakwaan, keikhlasan, dan kepedulian terhadap sesama. Hari Tasyrik adalah panggung untuk mempertahankan api semangat itu.

Bagi para pemimpin umat, cendekiawan muslim, pendidik, tokoh masyarakat, dan aktivis sosial, maka Hari Tasyrik adalah pengingat bahwa kurban kita belum selesai. Masih ada daging-daging kemiskinan, luka sosial, dan ketimpangan yang menunggu tangan-tangan yang tergerak. Masih banyak jiwa yang menanti kehadiran kita, bukan dengan kata-kata, tapi dengan tindakan nyata.

Tasyrik: Waktu Syukur, Waktu Bergerak

Hari Tasyrik adalah hari syukur, karena kita dilarang berpuasa. Islam mengajarkan bahwa pada saat tertentu, menikmati nikmat Allah juga merupakan ibadah. Tapi ini bukan syukur pasif, melainkan syukur yang aktif: dengan berdzikir, berbagi, dan menghidupkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan nyata.

Inilah waktunya kita menghidupkan kembali pertanyaan: "Setelah kurban disembelih, apa yang berubah dari diri dan lingkungan kita?". Jika jawaban itu belum terasa, maka tiga hari Tasyrik inilah momentum terbaik untuk memulainya.

Inspirasi: Kurban Hati, Bukan Hanya Hewan

Hari Tasyrik mengajarkan kita bahwa kurban bukanlah akhir ibadah, tetapi awal dari perjalanan pengabdian sosial. Tasyrik adalah tiga hari untuk membuktikan bahwa nilai kurban tidak selesai di meja makan, tapi harus hidup dalam sikap hidup kita sehari-hari, yaitu: ikhlas, adil, berbagi, dan peduli.

Semoga tiga hari ini menjadi momen menghidupkan nilai, bukan hanya mengenang tradisi. Semoga setiap daging dari hewan yang kita sembelih, melahirkan cinta yang lebih luas kepada Allah dan manusia. “Yang disembelih hanyalah hewan. Tapi yang dibebaskan adalah hati.”

Tentang Penulis:
Ulul Albab, Ketua ICMI Wilayah Jawa Timur dan Ketua Litbang DPP AMPHURI. Aktif dalam dakwah, pendidikan, dan pemberdayaan umat. Juga sebagai anggota Dewan Pembina Yayasan Masjid Subulussalam GWA Sidoarjo.

 

Editor : Alim Perdana