Mengapa Masih Suka Menangkapi Mahasiswa?
"Jika negara merasa terganggu oleh kritik, maka sesungguhnya negara sedang menegaskan bahwa ia tak siap diperbaiki."
Ini juga bagian dari kritik itu sendiri. Sebuah kalimat pembuka untuk forum diskusi publik membahas persoalan mengapa masih banyak mahasiswa ditangkap aparat.
Seperti yang diberitakan di berbagai media, bulan Mei 2025 menjadi catatan kelabu dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Dalam hitungan minggu, aparat kepolisian menangkap puluhan mahasiswa dari berbagai kampus: Trisakti Jakarta, Undip Semarang, hingga Universitas Cenderawasih di Papua.
Ada yang ditangkap karena menyuarakan hak buruh, ada yang ditahan karena menyebarkan meme politik di media sosial, dan ada pula yang dituduh sebagai pemicu kerusuhan dalam aksi damai. Pertanyaannya: Apakah suara mahasiswa kini masih dianggap sebagai ancaman negara?
Kita perlu menaruh keprihatinan mendalam terhadap hal ini. Sebab mahasiswa adalah suara moral bangsa. Mereka yang turun ke jalan bukan untuk menciptakan huru-hara, tetapi karena keterpanggilan nurani yang mewakili keresahan publik. Bila suara itu dibungkam dengan borgol, maka kita semua (bukan hanya mahasiswa) sedang kehilangan hak bersuara.
Demokrasi itu Tidak Cukup Hanya Pemilu
Semua pasti sepakat bahwa demokrasi bukan hanya tentang memilih pemimpin lima tahun sekali. Demokrasi adalah juga tentang hak untuk didengar ketika kita tidak setuju. Harus disepakati bahwa mahasiswa menyampaikan aspirasi melalui aksi, itu bukan kejahatan, tapi partisipasi.
Tapi sayangnya, respons negara kerap melupakan aspek ini. Tindakan cepat aparat dalam menahan mahasiswa karena ekspresi di ruang digital atau karena reaksi emosional di lapangan menciptakan preseden yang buruk. Mahasiswa dicap sebagai perusuh, bukan pemikir muda yang sedang mencari jalan. Apakah ini pertanda negara terlalu sibuk menjaga wibawa, hingga lupa menjaga suara rakyat?
Bahaya Membungkam Kritik
Ketika ruang kritik terus disempitkan, sesungguhnya kita sedang membuka pintu bagi berbagai kerusakan sosial yang tak mudah diperbaiki. Dalam masyarakat demokratis, kritik bukan hanya hak, bahkan kewajiban dalam mekanisme kontrol yang sehat. Dan saat mekanisme itu dibungkam, akan lahir konsekuensi yang jauh lebih serius daripada sekadar gaduh di ruang publik. Apa saja potensi konsekwensinya?
Pertama, kita akan menghadapi munculnya ketidakpercayaan terhadap negara dan aparat penegak hukum. Ketika menyuarakan kebenaran dibalas dengan penangkapan dan stigma, rakyat perlahan kehilangan keyakinan bahwa negara hadir untuk mereka. Dalam suasana semacam itu, masyarakat bisa memilih diam karena takut, atau melawan karena putus asa. Keduanya sama-sama merusak kepercayaan terhadap demokrasi.
Kedua, ada potensi frustrasi dan radikalisasi di kalangan generasi muda. Mahasiswa dan aktivis yang selama ini menyalurkan aspirasinya secara sah melalui demonstrasi atau media sosial bisa terdorong mencari jalan di luar mekanisme legal, jika ruang tersebut dibatasi. Dan jika itu terjadi, maka stabilitas sosial tidak hanya terganggu, tapi juga bisa pecah sewaktu-waktu.
Ketiga, dan ini yang paling menyedihkan, adalah kematian semangat berpikir kritis di kalangan kampus. Bila dunia akademik dipenuhi ketakutan untuk berbicara, maka kita tidak sedang mencetak pemimpin masa depan, bahkan hanya mencetak penonton pasif. Kampus seharusnya menjadi tempat subur bagi nalar, bukan ruang steril yang dicekam bisu.
Alternatif Solusi
Beberapa alternatif solusinya adalah: Pertama, negara perlu membangun kembali saluran resmi dialog antara mahasiswa dan para pengambil kebijakan. Sudah saatnya ruang-ruang aspirasi itu dibuka kembali, bukan sebagai basa-basi politik, melainkan sebagai wadah yang benar-benar mendengar dan mencari solusi. Mahasiswa ingin didengar, bukan dihakimi.
Kedua, harus ada reformasi serius dalam pendekatan kepolisian terhadap gerakan sipil. Peran Polisi bukan hanya sebagai penegak hukum. Mereka juga berfungsi sebagai wajah negara. Kita semua tahu bahwa wajah negara yang pertama kali dilihat rakyat adalah kepolisian. Maka seharusnya mereka hadir sebagai sahabat masyarakat, bukan sebagai alat kekuasaan. Pendekatan yang humanis jauh lebih efektif dalam meredam ketegangan dibandingkan intimidasi dan represifitas.
Ketiga, kita harus menjamin bahwa kampus tetap menjadi ruang aman bagi kebebasan berpikir dan berekspresi. Kampus bukan wilayah steril dari kritik, justru di sanalah seharusnya keberanian intelektual tumbuh. Jangan bawa logika kekuasaan ke ruang ilmu. Biarkan nalar dan nurani berkembang tanpa rasa takut.
Keempat, negara perlu meningkatkan literasi demokrasi di semua lini institusi pemerintahan dan penegakan hukum. Kita harus memahami bahwa kritik bukanlah makar, meme bukanlah senjata, dan mahasiswa bukanlah musuh. Mereka adalah bagian dari warga negara yang justru sedang menjaga api demokrasi agar tetap menyala.
Bangsa ini tidak akan runtuh oleh kritik. Justru karena kritik, kita tahu ke mana harus melangkah. Dan mahasiswa adalah bagian dari cahaya itu—kadang menyilaukan, kadang mengganggu, tapi selalu menunjukkan arah.
Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jatim
Pernah Menjadi Wakail Rektor Bidang Kemahasiswaan Unitomo
Editor : Amal Jaelani