Kebangkitan Nasional di Era Disrupsi, dari Semangat Budi Utomo ke Kepemimpinan Transformasional

Budi Utomo lahir dari semangat kaum terpelajar untuk mendorong perbaikan sosial, pendidikan, dan kebudayaan. Foto/Ali Masduki
Budi Utomo lahir dari semangat kaum terpelajar untuk mendorong perbaikan sosial, pendidikan, dan kebudayaan. Foto/Ali Masduki

SETIAP 20 Mei, bangsa ini memperingati Hari Kebangkitan Nasional sebagai pengingat tonggak sejarah berdirinya organisasi Budi Utomo pada 1908.

Tanggal tersebut menandai momentum munculnya kesadaran kolektif anak bangsa untuk bangkit dari ketertinggalan kolonial menuju cita-cita kemerdekaan.

Harkitnas semestinya menjadi ajang refleksi tahunan: sudah sejauh mana kita bangkit sebagai bangsa? Dan di era disrupsi saat ini, bangkit dalam arti apa?

Dari Budi Utomo ke Tantangan Mutakhir

Budi Utomo lahir dari semangat kaum terpelajar untuk mendorong perbaikan sosial, pendidikan, dan kebudayaan. Kebangkitan pada saat itu dimulai dari kesadaran dan semangat kolektif, bukan paksaan politik.

Kini, lebih dari seabad kemudian, kita hidup dalam dunia yang jauh berbeda: kemerdekaan telah diraih, demokrasi telah mapan, dan teknologi telah maju pesat. Namun ironisnya, kesadaran kolektif itu justru tampak memudar.

Di tengah derap pembangunan fisik dan digital, kita masih dihantui masalah klasik: ketimpangan sosial, korupsi struktural, lemahnya etika publik, serta merosotnya daya kritis generasi muda.

Belum lagi tantangan baru seperti disinformasi, polarisasi identitas, krisis lingkungan, hingga ketergantungan terhadap teknologi tanpa kontrol etis.

Kebangkitan Nasional di Era Disrupsi

Di era disrupsi, kebangkitan nasional tidak bisa lagi didefinisikan hanya sebagai peningkatan angka-angka ekonomi atau pembangunan infrastruktur.

Kebangkitan yang sejati harus menyentuh lapisan terdalam bangsa: karakter, nilai, etika, dan kapasitas kolektif untuk merumuskan arah masa depan.

Bangsa ini tidak kekurangan sumber daya, melainkan kekurangan visi jangka panjang dan kepemimpinan transformasional.

Banyak elite politik dan intelektual kita terjebak dalam rutinitas administratif dan simbolisme seremonial, tanpa berani keluar dari zona nyaman untuk membangun peradaban yang unggul dan berkeadaban.

Kita memerlukan redefinisi "kebangkitan nasional" sebagai proses membangun kembali akar-akar integritas bangsa: memperkuat pendidikan karakter, menata ulang arah pembangunan berbasis keadilan sosial, dan membangun ekosistem kepemimpinan moral yang melampaui sekadar kompetensi teknis.

Membutuhkan “Budi Utomo Baru”

Kondisi ini menuntut hadirnya “Budi Utomo baru”: wadah kolaboratif lintas generasi dan profesi yang menjawab masalah nyata bangsa, bukan sekadar arena romantisme sejarah.

Di tengah dunia yang semakin kompleks dan cepat berubah, kita memerlukan ruang-ruang baru yang menumbuhkan harapan, menyuburkan ide, dan menggerakkan tindakan kolektif untuk perubahan.

Kebangkitan nasional modern tidak bisa lagi bertumpu hanya pada pemerintah. Perguruan tinggi, organisasi masyarakat sipil, dunia usaha, dan komunitas akar rumput harus bersinergi membangun kebangkitan dari bawah.

Disinilah pentingnya membentuk kembali ekosistem nasional yang memungkinkan warga negara berdaya dan berkontribusi.

Kepemimpinan Transformasional Pilar Kebangkitan

Kebangkitan nasional hari ini membutuhkan kepemimpinan yang bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat secara moral.

Pemimpin yang mampu berpikir jangka panjang, berani menghadapi ketidakpopuleran demi kebenaran, dan tulus membangun negeri ini sebagai amanah, bukan arena perebutan kekuasaan.

Di tingkat kampus, birokrasi, maupun negara, kita membutuhkan lebih banyak pemimpin transformasional, yang tidak hanya mengelola, tetapi membangkitkan; yang tidak hanya menyuruh, tetapi menginspirasi; yang tidak hanya mengejar target, tetapi memulihkan arah.

Dari Refleksi ke Aksi

Peringatan Hari Kebangkitan Nasional hendaknya tidak berakhir sebagai seremoni dan rutinitas tahunan. Tapi harus menjadi pengingat spiritual dan intelektual bahwa setiap generasi memiliki kewajiban untuk bangkit dalam konteks zamannya.

Jika generasi Budi Utomo bangkit melawan penjajahan fisik, maka generasi hari ini harus bangkit melawan penjajahan baru: keserakahan, ketimpangan, kebodohan, dan apatisme sosial.

"Bangsa besar tidak bangkit karena slogan, tapi karena pilihan sadar orang-orang baik untuk bertindak."

Maka, di tengah kecanggihan zaman dan kekacauan nilai, kita diajak untuk kembali menyemai benih-benih kebangkitan. Tidak perlu menunggu menjadi presiden, menteri, atau rektor.

Mulailah dari ruang pengaruh kita masing-masing, dari langkah kecil yang jujur, dari komitmen moral yang nyata.

Selamat Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2025. Mari bangkit dengan cara baru, untuk Indonesia yang lebih bermartabat.

Oleh: Ulul Albab
(Ketua ICMI Jawa Timur, Akademisi dan
Mantan Rektor Universitas Dr. Soetomo 2007–2013)

Editor : Alim Perdana