Gus Baha Kupas Tuntas Perdebatan Bid’ah di Kalangan Muslim

Gus Baha, seorang tokoh yang aktif dalam pemikiran Islam. Foto: Ayojatim/IG
Gus Baha, seorang tokoh yang aktif dalam pemikiran Islam. Foto: Ayojatim/IG

SURABAYA - Perdebatan seputar ajaran Islam seringkali muncul, khususnya dalam memahami konsep bid'ah. Banyak yang menganggap bahwa semua bid’ah adalah sesat, dan bahkan menuduh para ulama seperti Imam Syafi’i kurang ajar karena berani membagi bid’ah menjadi dua jenis.

Namun, menurut Gus Baha, seorang tokoh yang aktif dalam pemikiran Islam di Yogyakarta, argumentasi tersebut perlu dikaji lebih dalam.

Gus Baha, yang juga merupakan seorang NU (Nahdlatul Ulama), menjelaskan bahwa pandangan tersebut seringkali muncul dari interpretasi yang sempit terhadap beberapa makalah provokatif yang beredar di masyarakat.

"Masalahnya sebagai NU, biasanya mereka mengutip beberapa makalah yang ternyata provokatif. Siapapun yang membacanya pasti menjadi tidak NU. Itu saya jamin," ungkapnya seperti dilansir dari kanal Youtube santri aswaja Indonesia.

Gus Baha mencontohkan kitab Hadhi Mafahimuna karya Bin Bas yang seringkali dibandingkan dengan kitab Sayid Muhammad Mafahim Yajibu Anshah. Kitab-kitab terjemahan Wahabi ini memang seringkali menggunakan narasi yang provokatif, seperti dalam contoh soal bid’ah:

(Iyyaakum watiba‘a al-umur bid‘atan dholalah wa ‘adhbun f nr)

(Wa al-muhaddithn bad‘atun dholalah wa ‘adhbun f nr)

Kalimat-kalimat tersebut seolah-olah menunjukkan bahwa semua bid’ah adalah sesat (dolalah). Bin Bas bahkan mengutip hadis Rasulullah yang menyatakan bahwa semua bid’ah adalah sesat.

"Rasulullah berkata bahwa semua bid’ah itu dolalah."
"Wajar Asyafiqama Hasanatin Wasatin."

Namun, menurut Gus Baha, narasi tersebut tidak sepenuhnya benar. Imam Syafi’i, dalam pandangan Gus Baha, tidaklah 'kurang ajar' karena membagi bid’ah menjadi dua jenis:

Dolalah (sesat): Bid’ah yang bertentangan dengan ajaran Islam. Hasanatan (baik): Bid’ah yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan bahkan bermanfaat.

"Sebenarnya ini adalah ilmu perdebatan, bukan ilmu hakiki. Kita tidak tahu mana yang diridhoi Allah," jelas Gus Baha.

Gus Baha kemudian mengutip Sayid Muhammad dalam kitab Abu Abul Faras yang menyanggah pandangan bahwa semua bid’ah adalah sesat. Sayid Muhammad menjelaskan bahwa makna bid’ah adalah sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah.

"Jika makna bidah adalah sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah, maka itu salah besar," tegasnya.

Sayid Muhammad bahkan menceritakan beberapa kisah yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad sendiri terkadang membenarkan hal-hal baru selama sesuai dengan syariat atau maslahat tertentu.

Contohnya, kisah seorang sahabat yang melafalkan doa "Alhamdulillah hamdan katsir thyiban mubarokan fih" saat itidal dalam salat. Nabi Muhammad tidak menyalahkan sahabat tersebut, malah mengatakan bahwa beliau melihat 12 malaikat mencatat siapa yang pertama kali melafalkannya.

"Kalimat tersebut bahkan diajarkan oleh Nabi meskipun ada keraguan mengapa kalimat itu ada, tapi ternyata dibenarkan oleh Allah dan Rasul-Nya," ujar Gus Baha.

Kisah lainnya adalah tentang seorang imam yang selalu membaca Surat Al-Ikhlas dalam shalat. Para makmumnya memprotes, namun Nabi Muhammad justru berkata:

"Sampaikan kepada mereka bahwa Allah mencintai kalian karena kalian mencintai surat tersebut."
"Hingga sekarang orang NU masih sering membaca surat-surat pendek seperti ini dalam shalatnya, walaupun tanpa pelajaran khusus dari beliau secara langsung."

Gus Baha menekankan bahwa teori tentang bid’ah sebagai sesuatu yang belum pernah diajarkan Nabi ternyata keliru. Nabi sendiri terkadang membenarkan hal-hal baru selama sesuai dengan syariat atau maslahat tertentu.

"Masalahnya banyak orang tidak membaca atau memahami kitab Sayid Muhammad sehingga mudah terprovokasi oleh narasi-narasi semacam Hadhi Mafhmn yang diterbitkan masif oleh pemerintah Arab Saudi beserta terjemahannya," terangnya.

Gus Baha juga menekankan pentingnya kemandirian al-hujjatul baligh (argumentasi yang kuat) dalam diri kita sebagai ahli sunnah wal jamaah.

"Misalnya pada kalimat Lailahaillallah—sebuah kalimat thayyib (baik) dimana seseorang kafir sekalipun jika mengucapkannya selama puluhan tahun bisa menjadi mukmin hanya lewat lafaz tersebut saja. Namun anehnya justru tahlilan (doa untuk arwah) dianggap kafir hanya gara-gara tambahan-tambahan tertentu padahal lafaz dasarnya sama yaitu lailahaillallah—ini mazhab aneh!"

"Kalau ahli sunnah sudah mandiri secara pemikiran tentu bagus sekali kondisi keagamaannya sehat seperti demikian," tandas Gus Baha.

Editor : Alim Perdana