Menulis dengan Nurani, Strategi Apresiatif untuk Mempengaruhi Tokoh dan Menyampaikan Arah Perubahan

BEBERAPA waktu lalu, saya menulis sebuah artikel profil tentang seorang tokoh publik dengan pendekatan apresiatif. Seperti yang telah saya duga sebelumnya, ada saja yang menanggapinya dengan nada negatif, bahkan sinis—salah satunya menyebut saya “mendem”, alias mabuk karena menulis dengan pujian.

Sebagai penulis yang menjadikan pena sebagai jalan dakwah dan pencerahan, saya tidak memilih untuk membalas dengan kemarahan. Sebaliknya, saya ingin memberikan sedikit pencerahan. Bukan semata untuk menjawab komentar tersebut, tetapi untuk menghadirkan perspektif yang lebih dalam kepada publik yang saya cintai dan muliakan.

Tulisan ini saya dedikasikan untuk siapa saja yang sedang mengasah kepekaan dalam menulis, dan yang ingin memahami bahwa apresiasi bukanlah bentuk pengkultusan, melainkan strategi komunikasi yang beradab.

Mari kita pelajari bersama bahwa menulis tokoh secara apresiatif bisa menjadi jalan untuk mengarahkan, menyentuh, bahkan memengaruhi tokoh tersebut—bukan dengan teriakan, tapi dengan kelembutan yang berisi pesan kuat.

Apresiasi sebagai Pintu Pengaruh

Dalam dunia literasi publik, menulis tentang seorang tokoh sering kali disalahpahami sebagai ajang puja-puji. Padahal, bagi penulis yang berintegritas, menulis tentang tokoh adalah ikhtiar mempengaruhi dengan bahasa yang halus namun terarah. Apresiasi bukan berarti tunduk, dan pujian bukan berarti manipulasi.

Ia bisa menjadi strategi membuka hati sang tokoh, agar lebih mudah menerima arah yang ingin kita sampaikan—menuju perubahan dan perbaikan.

Joseph Nye (2004), dalam bukunya Soft Power: The Means to Success in World Politics, menyebutkan bahwa pengaruh yang bersifat lunak—berbasis simpati, penghargaan, dan narasi yang membangun kepercayaan—lebih efektif untuk menghasilkan perubahan dibanding tekanan dan konfrontasi. Dalam tulisan, ini disebut soft narrative power—daya pengaruh dari narasi yang menghormati, namun tetap mengarahkan.

Mengarahkan Tanpa Menggurui

Dalam The Writer as Moralist (1958), Albert Camus menegaskan bahwa penulis sejati adalah mereka yang menggugah nurani tanpa menghakimi. Dalam tradisi retorika klasik, pendekatan ini dikenal sebagai ethos-pathos-logos—di mana ethos (karakter dan kredibilitas moral) diletakkan paling awal sebagai modal utama menyentuh pembaca, terutama tokoh yang ditulis (Heinrichs, 2017).

Dengan menulis apresiatif, kita justru sedang membangun jembatan emosional. Dalam psikologi komunikasi, ini dikenal sebagai positive framing—strategi menyampaikan kritik melalui penegasan sisi baik yang dituju, bukan sisi buruk yang dilawan (Anderson, 2015).

Menulis untuk Mendidik, Bukan Menyudutkan

Tugas penulis bukan menghakimi, melainkan mendidik dan menggugah kesadaran. Bahkan kepada pemimpin atau tokoh publik, tulisan yang dibangun dalam semangat apresiatif bisa lebih efektif untuk menyampaikan arah perbaikan dibanding tulisan yang frontal dan merendahkan. Menulis seperti ini tidak sedang mencitrakan tokoh, tapi mencitrakan harapan kita terhadap tokoh tersebut.

Daniel Goleman (1995), dalam bukunya Emotional Intelligence, menjelaskan bahwa manusia lebih mudah menerima pesan bila emosinya terlebih dahulu disentuh. Apresiasi membuka pintu itu. Maka, menulis tentang tokoh bukan hanya soal menilai, tetapi mengajak tokoh tersebut bercermin pada idealitas yang pernah atau sedang ia perjuangkan.

Kritik yang Beradab: Seni Menulis yang Terlupakan

Sayangnya, banyak orang terbiasa dengan kritik keras, tetapi gagap ketika melihat kritik yang disampaikan dengan santun. Mereka lupa bahwa kelembutan bukan tanda kelemahan. Dalam Islam sendiri, bahkan Nabi Musa diperintahkan Allah untuk berkata lembut kepada Firaun:

"Fa qul lahu qaulan layyinan, la‘allahu yatadhakkaru au yakhsh" "Katakanlah kepada Firaun dengan kata-kata yang lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut (kepada Allah)." (QS. Thaha: 44)

Kalau kepada Firaun saja Allah menyuruh Nabi Musa berkata lembut, lantas bagaimana dengan sesama anak bangsa, sesama muslim, atau sesama pemimpin yang kita harapkan bangkit dan berubah?

Dimana salahnya kalau kita menulis atau berkata lembut? Apalagi, dalam hal yang kita bahas ini, tokoh yang saya tulis itu adalah tokoh sesama ICMI. Tokoh seperjuangan.

Ketika Pena Menjadi Lentera Perubahan

Menulis bukan hanya tentang menyampaikan gagasan, tetapi tentang menghidupkan nurani. Maka ketika kita memilih untuk menulis tentang tokoh dengan gaya apresiatif dan idealis, kita sedang menghidupkan cahaya harapan. Harapan agar tokoh tersebut benar-benar menjadi seperti yang kita tuliskan. Harapan agar ia membaca tulisan kita bukan dengan telinga, tapi dengan hati.

Dan untuk mereka yang menanggapi tulisan semacam ini dengan sinisme—semoga Allah melembutkan hatinya, agar kelak bisa melihat bahwa kejujuran tak selalu hadir dalam suara lantang, tapi juga dalam kelembutan yang penuh makna.

Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur

Editor : Alim Perdana