Setelah Silaturrahmi dengan Para Rektor, Kapan ada Silaturrahmi Pemerintah dan BEM

Presiden Prabowo Subianto menggelar acara silaturahmi dengan rektor serta pimpinan perguruan tinggi negeri dan swasta di Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (13/03/2025). Foto/Setneg
Presiden Prabowo Subianto menggelar acara silaturahmi dengan rektor serta pimpinan perguruan tinggi negeri dan swasta di Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (13/03/2025). Foto/Setneg

DALAM sebuah diskusi yang ramai di media, Ketua Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) Herianto mengungkapkan sikap kritisnya terhadap pertemuan yang diadakan Presiden Prabowo Subianto dengan ratusan rektor perguruan tinggi di Istana Negara.

Herianto menilai bahwa pertemuan tersebut tidak cukup mencerminkan penghormatan terhadap kebebasan akademik dan demokrasi. Ia berpendapat bahwa jika pemerintah benar-benar menghormati kedua prinsip tersebut, maka seharusnya Prabowo memilih untuk berdialog langsung dengan mahasiswa, bukan hanya dengan rektor.

Pernyataan Herianto ini membuka sebuah wacana penting mengenai relasi antara kampus, pemerintah, dan ruang publik di Indonesia. Ketika pemerintah memutuskan untuk berkomunikasi dengan para rektor, tentu ada konteks yang perlu dicermati lebih dalam.

Apakah pertemuan itu benar-benar membuka jalan bagi kebebasan berekspresi bagi mahasiswa atau justru mengarah pada kontrol yang membatasi ruang-ruang kritis mereka?

Dilema Integritas dan Kebebasan Akademik

BEM SI, dengan segala keberanian dan semangat kritisnya, menyuarakan kekhawatirannya terkait kemungkinan penggunaan rektor sebagai alat untuk “menjinakkan” mahasiswa.

Menurut Herianto, kebijakan-kebijakan yang bisa diterapkan oleh para rektor terkait pembatasan ruang diskusi, kebebasan berpendapat, atau bahkan pembatasan aksi mahasiswa, tidak bisa dibiarkan begitu saja.

Di sinilah letak pentingnya menjaga integritas perguruan tinggi sebagai institusi yang seharusnya bersifat bebas, obyektif, dan kritis terhadap perubahan sosial yang terjadi.

Memang, sejarah menunjukkan bahwa tidak sedikit rektor yang menjadi alat politik dalam mengatur gerakan mahasiswa. Oleh karena itu, membicarakan kebebasan akademik dan demokrasi tidak bisa lepas dari kekhawatiran adanya intervensi yang meredam suara mahasiswa.

Di banyak negara, perguruan tinggi adalah benteng utama dalam menjaga dinamika demokrasi. Di Indonesia, sejarah perjuangan mahasiswa yang penuh dengan pengorbanan dalam menuntut reformasi harus terus diingat sebagai warisan penting.

Pentingnya kebebasan akademik sebagai dasar pengembangan ilmu pengetahuan di perguruan tinggi harus selalu dijaga, agar kampus tidak menjadi ruang yang hanya terhubung dengan kepentingan kekuasaan, tetapi juga mampu berdiri tegak sebagai sumber pengembangan ide dan kritik terhadap sistem sosial.

Perguruan tinggi harus mampu menjaga jarak dengan kebijakan politik tertentu agar tetap menjaga obyektivitas dan integritasnya. Di sinilah peran penting mahasiswa sebagai kontrol sosial dalam setiap kebijakan yang diambil, termasuk kebijakan yang terkait dengan pendidikan, ekonomi, dan pemerintahan.

Dialog Terbuka: Antara Mahasiswa dan Pemerintah

Pernyataan Herianto yang mengajak Presiden Prabowo untuk berdialog langsung dengan mahasiswa juga mencerminkan bahwa demokrasi bukan hanya soal siapa yang berkuasa, tetapi lebih dari itu, bagaimana kebijakan yang diambil dapat mencerminkan keberpihakan pada kepentingan rakyat, termasuk suara mahasiswa.

Mahasiswa, sebagai generasi penerus bangsa, bukan hanya diharapkan untuk mematuhi kebijakan pemerintah, tetapi juga berperan aktif dalam memberikan masukan, kritik, dan saran terhadap setiap kebijakan yang berpotensi mempengaruhi kehidupan rakyat.

Keberadaan mahasiswa dalam proses demokrasi adalah hal yang sangat penting. Mereka adalah pihak yang mampu melihat dengan lebih jernih terhadap berbagai masalah sosial yang ada di masyarakat, karena mahasiswa biasanya dekat dengan kehidupan rakyat dan senantiasa dihadapkan pada tantangan-tantangan sosial yang harus dicarikan solusinya.

Oleh karena itu, dialog antara pemerintah dan mahasiswa bukan hanya sekedar formalitas, melainkan harus menjadi ajang nyata untuk mengedepankan aspirasi rakyat yang selama ini mungkin terpinggirkan.

Berdialog langsung dengan mahasiswa juga berarti memberi ruang bagi mereka untuk mengungkapkan keresahan, harapan, dan proyeksi mereka terhadap masa depan bangsa.

Rapat tertutup atau diskusi hanya dengan rektor, meskipun penting, tetap tidak cukup untuk memberikan gambaran utuh tentang aspirasi generasi muda.

Oleh karena itu, kebebasan berpendapat dan berekspresi yang diakui dalam konstitusi harus tetap dijaga dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah.

Membuka Ruang Demokrasi yang Sehat

Tentu saja, pemerintah melalui pertemuan dengan para rektor memiliki tujuan untuk memperkuat sektor pendidikan, riset, dan pengembangan teknologi di Indonesia.

Namun, penting juga untuk menyeimbangkan proses ini dengan ruang demokrasi yang sehat dan terbuka bagi mahasiswa.

Jangan sampai ruang-ruang kritis dan dinamis di kampus dipasung demi kepentingan tertentu.

Pendidikan tinggi harus mampu menjadi penjaga moralitas dan keilmuan yang tidak hanya melayani kepentingan politik semata, tetapi juga menjadi pilar utama dalam membangun negara yang lebih adil, transparan, dan demokratis.

Oleh karena itu, dalam setiap kesempatan, baik melalui dialog dengan mahasiswa maupun rektor, penting bagi pemerintah untuk menegaskan bahwa kebebasan berpendapat, kritik sosial, dan inovasi adalah bagian tak terpisahkan dari proses demokrasi yang sehat dan berkelanjutan.

Mari kita terus menjaga integritas kampus sebagai ruang bagi pencarian kebenaran dan keadilan. Agar, seperti yang diharapkan Herianto, pertemuan antara mahasiswa dan pemerintah bukan hanya sekedar formalitas, tetapi sebuah langkah nyata untuk memajukan Indonesia ke arah yang lebih baik.

Penulis: Ulul Albab
Ketua ICMI Orwil Jawa Timur
Akademisi Unitomo

Editor : Alim Perdana