ayojatim.com skyscraper
ayojatim.com skyscraper

Kenaikan PPN 12 Persen, Akankah QRIS ditinggalkan?

Salah satu dampak yang dikhawatirkan adalah penurunan penggunaan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) sebagai metode transaksi non-tunai. Foto/AyoJatim
Salah satu dampak yang dikhawatirkan adalah penurunan penggunaan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) sebagai metode transaksi non-tunai. Foto/AyoJatim

SURABAYA - Pemerintah resmi menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, efektif 1 Januari 2025. Kebijakan ini menuai kontroversi, karena berpotensi merugikan masyarakat.

Salah satu dampak yang dikhawatirkan adalah penurunan penggunaan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) sebagai metode transaksi non-tunai.

Prof. Dr. Rahmat Setiawan, SE., MM., pakar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (UNAIR), memprediksi bahwa jika QRIS juga dikenakan PPN 12%, masyarakat akan kembali menggunakan uang tunai.

“Jika QRIS dikenakan PPN 12%, masyarakat akan kembali ke transaksi tunai. Tidak ada alasan memilih QRIS jika tetap dikenakan PPN,” jelasnya.

Prof. Rahmat menyayangkan kebijakan ini, karena bertentangan dengan upaya pemerintah dan Bank Indonesia untuk mendorong transaksi non tunai. Upaya mempermudah transaksi dan mencegah pencucian uang pun terhambat.

“Pemerintah mendorong transaksi non-tunai untuk meningkatkan konsumsi dan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, transaksi non-tunai juga mempermudah pelacakan dan mencegah pencucian uang, yang sulit dilakukan pada transaksi tunai,” imbuhnya.

Dampak Lebih Luas dari Kenaikan PPN

Prof. Rahmat menjelaskan bahwa meskipun beberapa barang dikecualikan, kenaikan PPN tetap berdampak pada kebutuhan sehari-hari.

“Barang-barang yang tidak dikecualikan bukan hanya barang mewah, tetapi juga barang kebutuhan pokok seperti deodoran, pasta gigi, dan sabun,” jelasnya.

Lebih lanjut, Prof. Rahmat memprediksi kenaikan PPN akan meningkatkan angka pengangguran.

“Kenaikan PPN akan meningkatkan beban hidup masyarakat, menurunkan daya beli, dan mengurangi konsumsi. Penurunan produksi akibat rendahnya permintaan akan berujung pada peningkatan pengangguran,” tambahnya.

Prof. Rahmat berharap pemerintah menunda atau membatalkan kenaikan PPN. Menurutnya, pemerintah dapat mempertahankan PPN di angka 11% tanpa perlu revisi UU.

“Pemerintah memiliki kewenangan untuk menetapkan PPN antara 5% hingga 15% sesuai UU HPP Pasal 7 ayat (3),” pungkasnya.

Editor : Alim Perdana