Oleh: Ulul Albab
Ketua Litbang DPP AMPHURI
DI tengah upaya menyusun Judicial Review terhadap UU No. 14 Tahun 2025, muncul satu perkembangan baru: terbitnya Peraturan Menteri Haji dan Umrah (PMHU) No. 4 Tahun 2025. Regulasi ini sontak menambah babak baru dalam diskursus Umrah Mandiri.
Baca juga: Relevansi ICMI bagi Generasi Z Muslim Terpelajar
Di satu sisi, ia hadir seperti “pemadam kebakaran” yang mencoba menutup kekosongan teknis dalam UU. Namun di sisi lain, kehadirannya justru menegaskan bahwa UU tersebut memang menyimpan persoalan serius, termasuk potensi pertentangan dengan UUD 1945.
Sebagai pihak yang sejak awal mengkritisi konsep Umrah Mandiri dalam UU No. 14/2025, saya melihat terbitnya PMHU bukan sebagai akhir masalah, tetapi justru sebagai bukti paling terang bahwa aturan di tingkat undang-undang itu memang tidak lengkap, tidak selaras, dan rawan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Kekosongan Normatif dalam UU No. 14 Tahun 2025
Di dalam UU No. 14/2025, istilah Umrah Mandiri hanya muncul secara implisit sebagai pengecualian dalam ketentuan perlindungan jemaah. UU menyatakan bahwa sebagian perlindungan tidak berlaku bagi jemaah mandiri. Namun yang janggal adalah: UU tidak pernah mendefinisikan apa itu Umrah Mandiri, bagaimana mekanismenya, syarat administratifnya, batas-batas perlindungannya, dan siapa aktor yang bertanggung jawab ketika terjadi masalah.
Akibatnya, lahir situasi aneh: negara membuka pintu Umrah Mandiri, tetapi sekaligus melepaskan sebagian tanggung jawab kepada warga negara yang justru sedang menjalankan ibadah. Ini bukan saja menyalahi prinsip perlindungan warga negara, tetapi berpotensi bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945 tentang hak atas perlindungan dan kepastian hukum.
Di sinilah akar kerumitan itu. UU mengakui keberadaan Umrah Mandiri, tetapi tanpa rambu-rambu yang jelas. Kekosongan normatif tersebut menciptakan ruang interpretasi yang luas dan berbahaya, baik bagi pemerintah, PIHK/PPIU, maupun jemaah.
PMHU No. 4 Tahun 2025: Menutup Kekosongan, Membuka Pertanyaan Baru
Ketika PMHU No. 4/2025 terbit, banyak pihak yang spontan menilai bahwa regulasi ini “menyelesaikan masalah”. Sekilas terlihat demikian. PMHU No. 4/2025 memberikan definisi jelas tentang Umrah Mandiri, menetapkan prosedur pendaftaran elektronik, mewajibkan pembelian paket layanan minimal, menetapkan syarat asuransi, mengatur verifikasi, dan bahkan memberikan pelindungan jemaah mandiri dalam banyak bentuk.
Dari sudut pandang kebijakan publik, PMHU ini jauh lebih rasional dibanding UU. Ia membuat alur pelayanan jelas, mengurangi risiko penipuan, dan memastikan jemaah yang bepergian mandiri tetap tercatat dalam sistem negara. Dalam bahasa administrasi publik, PMHU mengisi design gap yang dibiarkan terlalu lebar oleh UU. Namun persoalannya: apakah regulasi menteri boleh melampaui undang-undang?
UU justru mengecualikan sebagian perlindungan bagi jemaah mandiri. PMHU mewajibkan perlindungan penuh. UU tidak memberi definisi Umrah Mandiri. PMHU menetapkan definisi baru. UU tidak memberi delegasi eksplisit untuk mengatur Umrah Mandiri secara detail. PMHU mengatur hampir seluruh anatominya.
Dari perspektif hukum tata negara, PMHU No. 4/2025 terjebak dalam posisi yang rawan: sebagai peraturan yang rasional secara kebijakan, tetapi lemah secara yuridis.
Baca juga: ICMI dan Pemerintahan Prabowo, Mitra Kritis Konstruktif
Ia terlihat seperti berusaha memperbaiki apa yang seharusnya diperbaiki di tingkat UU. Namun justru tindakan itu yang melahirkan pertanyaan hukum: apakah sebuah Peraturan Menteri boleh memperluas hak dan kewajiban umat tanpa mandat eksplisit dari UU? Apakah ia boleh “mengoreksi” ketentuan UU yang meniadakan perlindungan tertentu?
Pertanyaan-pertanyaan ini memperlihatkan bahwa masalah fundamental tetap ada di hulu, bukan di hilir.
Apakah Judicial Review Masih Relevan?
Sangat relevan. Bahkan lebih relevan daripada sebelum PMHU diterbitkan. PMHU No. 4/2025 justru memperkuat argumentasi bahwa:
1. UU No. 14/2025 tidak lengkap dan tidak konsisten.
2. UU membuka ruang multitafsir yang berbahaya.
3. UU menciptakan ketentuan pengecualian perlindungan yang kontradiktif dengan prinsip konstitusi.
4. UU tidak memberikan delegasi yang memadai kepada pemerintah untuk mengatur Umrah Mandiri secara operasional.
Dengan demikian, terbitnya PMHU bukan mengurangi urgensi JR, tetapi justru menjadi alat bukti tambahan bahwa UU tersebut memang cacat secara normatif sehingga memaksa pemerintah “menambalnya” melalui peraturan menteri yang justru rentan secara hukum.
Dalam doktrin hukum administrasi dikenal istilah ultra vires: suatu regulasi bertindak di luar kewenangan karena undang-undang yang menjadi payungnya tidak memberi landasan memadai. PMHU No. 4/2025 berada di ambang risiko itu.
Baca juga: ICMI 35 Tahun, Saatnya Cendekiawan Muslim Kembali ke Panggung Strategis Bangsa
Oleh sebab itu, langkah JR terhadap UU menjadi semakin mendesak, bukan hanya untuk memperbaiki pasal-pasal Umrah Mandiri, tetapi untuk memberikan landasan hukum yang kokoh bagi seluruh struktur regulasi ibadah umrah dan haji khusus.
Saatnya Harmonisasi Regulasi dari Hulu ke Hilir
Indonesia membutuhkan regulasi yang: melindungi seluruh jemaah tanpa diskriminasi, mengikuti perubahan ekosistem umrah global, selaras dengan kebutuhan tata kelola modern, dan konsisten dengan mandat konstitusi.
Kehadiran PMHU No. 4/2025 memang memberikan kepastian teknis, tetapi sekaligus mengungkapkan betapa seriusnya masalah di tingkat undang-undang. Karena itu, langkah Judicial Review bukan hanya relevan, tetapi malah justru menjadi sangat krusial bagi masa depan regulasi haji dan umrah di Indonesia.
Langkah korektif harus dimulai dari UU-nya. Tanpa itu, regulasi teknis akan terus berada dalam posisi yang rentan dan kontraproduktif. Dan yang paling berisiko menanggung dampaknya adalah Jemaah, yaitu warga negara yang sedang menjalankan ibadah.
Editor : Alim Perdana