Seri #2 Road to Milad 35 & SILAKNAS ICMI Bali, 5–7 Desember 2025

ICMI dan Pemerintahan Prabowo, Mitra Kritis Konstruktif

ayojatim.com

Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Orwil Jawa Timur

ADA suasana baru yang terasa dalam dinamika kebangsaan sejak pemerintahan Presiden Prabowo mulai bekerja. Negara berbicara tentang kemandirian pangan, penguatan pertahanan, industrialisasi yang lebih berdaulat, peningkatan kapasitas SDM, dan pemanfaatan teknologi termasuk kecerdasan buatan untuk mempercepat kesejahteraan rakyat.

Baca juga: ICMI 35 Tahun, Saatnya Cendekiawan Muslim Kembali ke Panggung Strategis Bangsa

Energi politik bergerak ke arah stabilitas, efisiensi, dan visi jangka panjang. Di tengah perubahan ini, satu pertanyaan strategis muncul: di mana posisi ICMI?

Sebagian kalangan mengira ICMI akan menjadi penonton. Sebagian lagi menduga ICMI akan menjauh dari ruang kebijakan. Padahal keduanya tidak tepat. ICMI memiliki ruang peran yang jauh lebih mulia dan strategis: menjadi mitra kritis konstruktif bagi pemerintahan.

Mitra bukan oposisi, bukan pula pengikut. Kritis bukan reaktif, bukan destruktif. Konstruktif bukan mengganggu, tetapi memperbaiki dan menguatkan.

Sejak awal berdirinya, ICMI bukan organisasi politik. Ia tidak dibentuk untuk memperebutkan kekuasaan, tetapi untuk mengawal agar ilmu pengetahuan, etika publik, moralitas keislaman, dan kecerdasan sosial hadir dalam proses bernegara.

Karena itu, peran ICMI dalam pemerintahan Prabowo bukan berada di pinggir, tetapi justru pada titik jembatan antara gagasan dan kebijakan.

Pemerintahan baru membutuhkan banyak hal yang menjadi kompetensi alamiah cendekiawan Muslim mulai dari desain kebijakan, kajian akademik, riset strategis, etika tata kelola, hingga inovasi sosial di tingkat daerah.

Namun kontribusi itu hanya mungkin jika ICMI tidak terjebak pada romantisme masa lalu, dan tidak pula alergi pada keterlibatan konstruktif.

ICMI harus hadir dengan tiga karakter baru: Pertama, sebagai policy knowledge hub. ICMI memiliki ribuan akademisi, peneliti, doktor, dan profesor di seluruh Indonesia, bahkan diaspora.

Potensi ini bisa mengisi ruang yang saat ini menjadi tantangan pemerintah: ketersediaan data yang kredibel, analisis yang jernih, serta rekomendasi berbasis ilmu, bukan opini.

Kedua, sebagai jangkar etika publik. Di era digital, politik mudah menjadi bising, emosional, dan manipulatif. ICMI dapat mengembalikan akal sehat publik melalui pencerahan yang beradab, literasi yang mencerahkan, dan teladan moral tanpa merasa paling suci.

Ketiga, sebagai penghubung umat dengan agenda pembangunan. Program pemerintah membutuhkan legitimasi sosial. ICMI memiliki kedekatan sosiologis dengan kelas menengah Muslim kelompok yang menentukan kepercayaan publik dan arah energi sosial.

Baca juga: Membongkar Modus Korupsi Dana TASPEN

Dengan posisi seperti itu, ICMI tidak perlu mengklaim kedekatan politik, tidak perlu memohon ruang formal, dan tidak perlu menempel pada kekuasaan. Kontribusi intelektual yang nyata justru akan menghadirkan pengakuan dengan sendirinya.

Ada sejumlah sektor strategis pemerintahan Prabowo di mana ICMI dapat menjejakkan peran nyata, meliputi:

(1). Transformasi pendidikan dan peningkatan talenta nasional melalui kurikulum berbasis riset, akhlak, dan produktivitas.

(2). Kemandirian pangan dan revitalisasi desa melalui riset terapan, teknologi pertanian, dan pemberdayaan masyarakat. (3). Ekonomi umat, UMKM, dan industri halal melalui model bisnis, sertifikasi, dan inkubasi ekonomi.

(4). Pengembangan riset, inovasi, dan teknologi melalui jaringan ilmuwan dan kampus. (5). Moderasi beragama dan persatuan nasional melalui dialog kebangsaan yang teduh dan mencerahkan.

(6). Reformasi birokrasi dan etika penyelenggaraan negara melalui pendidikan integritas dan nalar akuntabilitas.

Baca juga: Dari Wonosalam ke Dunia, Akademi Buah Nusantara dan Masa Depan Hortikultura Indonesia

Semua itu sejalan dengan visi pemerintahan, namun tetap membutuhkan sentuhan kecendekiaan agar berpijak pada ilmu dan adab.

Untuk menjadi mitra kritis konstruktif, ICMI perlu melakukan pembaruan internal: membuka ruang generasi muda, memperkuat literasi digital, menghidupkan kajian rutin yang produktif, dan menghadirkan keluaran gagasan yang terukur. Citra “organisasi seminar” harus ditinggalkan. Yang dibutuhkan adalah organisasi solusi.

Seiring mendekatnya Milad ke-35 dan SILAKNAS di Bali pada 5–7 Desember 2025, narasi ini semakin penting. Publik perlu melihat bahwa acara di Bali nanti ICMI bukan merayakan usia, tetapi menyongsong peran baru. Bali sebagai tuan rumah menegaskan pesan kebangsaan: kerukunan, keberagaman, dan Islam yang ramah serta berkeadaban.

Jika pemerintahan membutuhkan stabilitas, maka ICMI membawa kedewasaan intelektual. Jika negara membutuhkan akselerasi, maka ICMI membawa ilmu pengetahuan. Jika bangsa membutuhkan akhlak publik, maka ICMI membawa cahaya keteladanan. Inilah esensi “mitra kritis konstruktif.”

Dan, akhirnya, bangsa besar tidak hanya membutuhkan kekuatan fisik, tetapi juga kekuatan akal, nurani, dan ilmu pengetahuan. Di sinilah ICMI harus berdiri bukan di belakang, bukan di samping, tetapi di depan sebagai pemandu peradaban.

dan untuk bahasan yang ini, pertanyaan yang harus dijawab adalah: Apakah kita siap menjalankan peran itu dengan penuh kepercayaan diri, keluasan ilmu, dan kejernihan akhlak?. Saya yakin kita akan menjawabnya dengan jawaban yang mantab: “SIAP”.

 

Editor : Alim Perdana

Wisata dan Kuliner
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru