Reformasi POLRI: Kajian Akademik dari Perspektif Teori Administrasi dan Manajemen Sektor Publik

ayojatim.com
Foto ilustrasi/pixabay

Oleh: Ulul Albab
Akademisi dan Ketua ICMI Jawa Timur

REFORMASI institusi kepolisian selalu menjadi topik yang kembali ke permukaan setiap kali publik dihadapkan pada kasus kekerasan aparat, praktik maladministrasi, atau skandal besar yang mengganggu kepercayaan masyarakat. Meski demikian, upaya untuk memahami persoalan kepolisian tidak cukup berhenti pada kritik moral.

Baca juga: Mengapa JR Terhadap UU 14/2025 Tidak Minta Pasal Umrah Mandiri Dihapus Justru Minta Ditambahkan Definisi

Diperlukan analisis yang lebih struktural, yang menempatkan Polri sebagai organisasi sektor publik dengan karakter birokrasi modern, mekanisme akuntabilitas yang kompleks, serta tuntutan pelayanan publik yang semakin tinggi. Di sinilah teori administrasi dan manajemen sektor publik menemukan relevansinya.

Kepolisian merupakan organisasi dengan mandat fundamental: menjaga ketertiban, melindungi masyarakat, serta menegakkan hukum. Namun mandat ini tidak berjalan di ruang hampa. Ia berlangsung dalam konteks politik, sosial, dan ekonomi yang terus berubah.

Reformasi Polri harus dilihat sebagai upaya menata ulang bukan hanya prosedur dan aturan internal, tetapi juga teori dan asumsi dasar yang mendasari cara organisasi ini bekerja dan berinteraksi dengan warga negara.

Polisi sebagai Organisasi Birokratis

Dalam kerangka teori administrasi klasik, kepolisian berkembang sebagai organisasi Weberian: hierarkis, berorientasi komando, dan sangat mengandalkan disiplin internal. Model ini cocok untuk memastikan stabilitas dan kepastian hukum.

Namun tantangan keamanan hari ini semakin bersifat non-konvensional, mulai dari kejahatan siber, polarisasi sosial, hingga krisis kepercayaan publik. Ini menuntut kemampuan adaptasi, bukan semata kepatuhan terhadap rantai komando.

Di banyak negara, organisasi kepolisian bergerak ke arah post-bureaucratic organization yang menekankan kolaborasi lintas lembaga, kepemimpinan partisipatif, dan inovasi teknologi.

Sayangnya, sebagian besar unit di Polri masih beroperasi dengan paradigma lama yang cenderung paternalistik. Di sinilah titik krusial reformasi: bagaimana memastikan transformasi dari birokrasi komando ke birokrasi layanan tanpa merusak stabilitas organisasi?

Pelayanan Publik dan Akuntabilitas

Dalam manajemen sektor publik modern, keberhasilan organisasi tidak diukur dari banyaknya kegiatan (output), tetapi dari perubahan yang dihasilkan (outcome). Kerangka ini relevan bagi kepolisian, yang sering kali menilai kinerja dari jumlah operasi, penangkapan, atau razia. Padahal indikator tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan peningkatan rasa aman atau meningkatnya kepercayaan masyarakat.

Akuntabilitas kepolisian harus berlapis: akuntabilitas administratif kepada presiden, akuntabilitas hukum kepada peraturan perundang-undangan, dan akuntabilitas publik kepada warga negara. Mekanisme oversight eksternal, termasuk peran Kompolnas, Ombudsman, dan DPR, seharusnya diperkuat.

Dalam perspektif New Public Management (NPM), transparansi kinerja dan standar pelayanan minimal perlu menjadi bagian dari kontrak sosial antara Polri dan masyarakat.

Namun NPM sendiri memiliki keterbatasan, terutama karena terlalu menekankan efisiensi. Karena itu, pendekatan Public Value menjadi relevan: nilai utama organisasi kepolisian adalah kepercayaan publik. Jika tindakan aparat justru mencederai kepercayaan, maka seefisien apa pun operasi keamanan tidak akan menumbuhkan legitimasi.

Baca juga: Mengkritisi UU No. 14 Tahun 2025: Jangan Sampai Tata Kelola Haji dan Umrah Menyimpang dari Arah Peradaban

Kepemimpinan Transformasional

Banyak akademisi administrasi publik menekankan bahwa reformasi birokrasi tidak akan berhasil tanpa pergeseran budaya organisasi. Kepolisian adalah lembaga dengan tradisi panjang, identitas kuat, dan solidaritas internal yang tebal. Kekuatan ini sekaligus kelemahan ketika budaya birokrasi tidak terbuka terhadap kritik dan pembaharuan.

Diperlukan kepemimpinan transformasional. Pemimpin yang mampu membangun visi perubahan, memberi teladan integritas, dan menggerakkan anggota di semua level untuk berubah. Kepemimpinan seperti ini tidak hanya mengandalkan kekuasaan formal, tetapi juga kapasitas moral dan kemampuan komunikasi publik.

Dalam banyak kasus, masalah kepolisian bukan sekadar pelanggaran oknum, tetapi kegagalan struktural yang menandakan lemahnya supervisi, pengawasan internal, dan pembinaan profesionalisme.

Karena itu, pemimpin kepolisian harus menata ulang sistem reward dan punishment serta memastikan rekrutmen dan promosi berbasis meritokrasi. Tanpa reformasi SDM, reformasi hukum dan struktural tidak akan membawa perubahan berarti.

Teknologi, Data, dan Inovasi

Kepolisian modern tidak lagi bertumpu pada operasi fisik semata. Pengelolaan keamanan kini berbasis data: predictive policing, sistem kamera berbasis AI, digital forensics, dan pelayanan berbasis aplikasi. Indonesia telah memulai beberapa langkah, tetapi masih tertinggal dalam hal integrasi data dan interoperabilitas antar-instansi.

Tanpa sistem data yang kuat, keputusan kepolisian rentan subjektif dan tidak konsisten. Institusi kepolisian perlu mempercepat digitalisasi manajemen internal, penguatan command center, serta sistem pengaduan publik yang benar-benar dapat ditindaklanjuti. Teknologi bukan tujuan akhir, tetapi alat untuk meningkatkan akuntabilitas dan kualitas layanan.

Baca juga: Umrah Mandiri Berpotensi Lahirkan Pekerja Migran Ilegal

Kepercayaan Publik sebagai Agenda Besar Reformasi

Dalam teori administrasi sektor publik, legitimasi lembaga negara tidak hanya dibangun melalui hukum, tetapi melalui kepercayaan (trust). Kepercayaan membutuhkan dua hal: kompetensi dan integritas.

Banyak penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sesungguhnya menginginkan polisi yang dekat, manusiawi, dan bisa menjadi penjaga rasa aman. Namun ekspektasi itu sering berhadapan dengan kenyataan: kasus kekerasan berlebihan, kriminalisasi warga, dan perilaku tidak profesional.

Reformasi kepolisian tidak boleh berhenti pada slogan atau kampanye publik. Pembenahan harus menyentuh akar: pendidikan, supervisi, manajemen kinerja, serta penguatan nilai-nilai moral dalam tubuh organisasi. Kepolisian yang dipercaya adalah kepolisian yang mampu melindungi masyarakat tanpa rasa takut, dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu.

Reformasi Polri adalah proyek jangka panjang yang membutuhkan keberanian politik, konsistensi administrasi, serta dukungan publik. Dalam perspektif teori administrasi dan manajemen sektor publik, reformasi bukan sekadar memperbaiki lembaga, tetapi memperkuat demokrasi.

Polisi bukan hanya aparat negara, tetapi perwujudan kehadiran negara dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, kualitas kepolisian sejatinya adalah cermin kualitas peradaban kita sendiri.

 

Editor : Alim Perdana

Wisata dan Kuliner
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru