Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur
BELAKANGAN, KPK mulai mencium aroma tak sedap di balik pembebasan lahan Whoosh. Katanya, ada tanah milik negara yang… dijual lagi ke negara. Negara beli tanahnya sendiri! Saya sampai mengernyitkan dahi. Ini bukan humor politik. Ini fakta yang sedang diperiksa.
Baca juga: BRIN di Tangan Cendekiawan, Harapan Baru dari Seorang Arif Satria
Logikanya sederhana. Kalau rumah itu milik kita, lalu kita beli lagi rumah itu dari seseorang yang mengaku pemiliknya, maka siapa yang paling bodoh di antara kita? Negara, ternyata, bisa juga masuk kategori itu.
Dalam pengadaan lahan, selalu ada ruang abu-abu. Tanah yang statusnya belum jelas. Dokumen yang entah di mana. Orang yang tiba-tiba mengaku ahli waris, padahal kakeknya mungkin dulu cuma numpang lewat saja. Celah-celah seperti inilah yang dimanfaatkan oleh para “makelar proyek”.
Kata KPK, modusnya mirip: tanah negara diklaim seolah milik pribadi, lalu “dijual” ke pemerintah lewat skema pembebasan lahan. Uangnya? Cair. Cepat pula. Tak kalah cepat dari kereta Whoosh.
Lebih parah lagi, harga jualnya bukan harga murah. Ada yang dikerek sampai beberapa kali lipat dari harga pasar. Dalam bahasa ekonomi: mark-up. Dalam bahasa rakyat: dikerjain.
Tentu saja, proyek sebesar Whoosh tidak main-main. Nilainya triliunan. Panjang jalurnya lebih dari 140 kilometer. Artinya, setiap meter tanahnya punya harga. Di situlah para pemain nakal masuk, membawa proposal, surat, atau kadang hanya keberanian. Sebab dalam proyek strategis nasional, keberanian sering lebih penting daripada kebenaran.
Dan kita semua tahu, kalau sudah bicara lahan, di situlah uang dan kekuasaan berjumpa. Saya tak ingin menyalahkan siapa pun. Kasusnya juga masih diselidiki KPK. Tapi mari kita belajar dari gejalanya. Karena pola ini bukan hal baru.
Dulu waktu proyek tol gencar-gencarnya, cerita semacam ini juga muncul. Tanah yang seharusnya milik pemerintah, tiba-tiba punya sertifikat baru. Bahkan ada tanah sungai yang berubah menjadi “tanah pribadi”. Negara kalah cepat dari calo.
Sekarang pola itu diulang lagi di proyek kereta cepat. Bedanya, nilainya jauh lebih besar. Dan kali ini, ada unsur simbolik di dalamnya. Whoosh bukan sekadar proyek transportasi. Ia dipromosikan sebagai simbol kebanggaan nasional. Tapi bagaimana bisa bangga kalau di dalamnya ada tangan-tangan kotor?
Yang menarik, Menteri ATR/BPN yang baru, Nusron Wahid, mengatakan belum tahu detail kasus ini. Dia janji siap bantu KPK kalau dibutuhkan. Baiklah, kita tunggu. Sebab ini bukan hanya urusan hukum. Ini juga urusan moral kebangsaan.
Baca juga: Bongkar Dugaan Korupsi Kuota Haji Sampai KPK Akan Terbang ke Arab Saudi
Kita terlalu sering terjebak dalam logika pembangunan: asal cepat, asal jadi, asal diresmikan. Tapi lupa bahwa pembangunan tanpa integritas hanya menghasilkan kemajuan yang rapuh. Bangunannya kokoh, tapi fondasinya busuk.
Kita seolah berlomba membangun infrastruktur, tapi melupakan infostruktur, yaitu sistem informasi dan pengawasan publik yang membuat setiap rupiah proyek bisa dilacak dan diaudit.
Lucunya, sebagian orang masih berkata: “Ah, yang penting jadi dulu. Korupsinya belakangan diurus.” Pola pikir seperti ini sudah terlalu lama membunuh akal sehat bangsa ini. Ia seperti minyak pelumas korupsi yang terus-menerus disemprotkan ke mesin birokrasi.
Padahal, tak ada pembangunan yang benar-benar maju bila uangnya bocor di tengah jalan. Sama seperti kereta cepat yang mogok di tengah rel karena bahan bakarnya disedot orang.
KPK tentu harus bekerja tanpa pandang bulu. Tapi publik juga perlu menuntut transparansi. Publikasikan semua data pengadaan lahan: siapa pemiliknya, berapa harga per meternya, siapa yang menandatangani dokumen, siapa yang menerima uangnya.
Baca juga: Jalan Panjang Menuju Kemaslahatan
Kalau proyek ini memang bersih, biar publik tahu. Kalau kotor, biar publik juga tahu. Keterbukaan bukan musuh pembangunan, tapi pelindungnya.
Whoosh memang sudah melaju kencang. Tapi jangan sampai kecepatan itu hanya menutupi kelambatan kita memperbaiki tata kelola. Karena bangsa ini tak akan maju hanya dengan kereta cepat, kalau yang menggerakkannya masih mental “cepat-cepat kaya”.
Bangsa yang hebat bukan bangsa yang membangun cepat, tapi bangsa yang membangun bersih. Dan membangun bersih, berarti berani mengusut siapa pun yang mengotori tanah negeri ini, termasuk kalau tanah itu ternyata tanah negara yang dijual ke negara sendiri.
Editor : Alim Perdana