Oleh : Ulul Albab
Ketua ICMI Orwil Jawa Timur
HARI ini bangsa Indonesia merayakan ulang tahun kemerdekaan ke-80. Delapan dekade yang lalu, para pendiri bangsa dengan gagah berani menyatakan kemerdekaan dari penjajahan fisik bangsa asing.
Baca juga: Kemerdekaan Bukan Sekadar Seremoni, Prof Siti Marwiyah Ajak Bangun Peradaban Adil!
Itu adalah capaian monumental, tonggak sejarah yang menandai lahirnya sebuah bangsa merdeka yang bermartabat.
Namun, apakah kemerdekaan itu telah sepenuhnya kita nikmati? Ataukah kini kita justru terikat dalam bentuk-bentuk perbudakan baru, yang tidak kasat mata namun lebih halus menjerat?
Kemerdekaan yang sejati sejatinya bukan sekadar merdeka dari belenggu kolonialisme, melainkan merdeka dari segala bentuk perbudakan modern.
Perbudakan yang tidak lagi berupa rantai besi dan cambuk, melainkan berupa regulasi yang membatasi, ekonomi yang menjerat, ekosistem sosial yang menekan, dan stigma media yang membunuh karakter bangsa.
Perbudakan Modern yang Menjerat Bangsa
Hari ini, banyak warga bangsa masih terbelenggu oleh perbudakan ekonomi. Kapitalisme yang tanpa kendali melahirkan ketimpangan sosial yang tajam: segelintir orang menikmati kekayaan luar biasa, sementara sebagian besar rakyat berjuang hanya untuk bertahan hidup.
Oligarki ekonomi menciptakan ekosistem yang memaksa rakyat menjadi obyek, bukan subyek pembangunan.
Di sisi lain, ada pula perbudakan organisasi. Betapa sering organisasi yang seharusnya menjadi wadah tumbuhnya potensi, justru berubah menjadi struktur yang membatasi kreativitas.
Loyalitas buta, senioritas kaku, hingga praktik patronase menjadikan anggota tidak tumbuh sebagai pribadi merdeka, melainkan hanya sebagai “alat” yang dikendalikan kepentingan kelompok.
Lebih berat lagi, rakyat kerap menghadapi perbudakan regulasi dan kebijakan publik. Regulasi dibuat bukan untuk membebaskan rakyat, tetapi justru seringkali mengekang.
Alih-alih berpihak pada kepentingan rakyat banyak, kebijakan justru sarat kepentingan politik dan ekonomi segelintir elit. Rakyat diposisikan sebagai obyek, bukan mitra.
Tak kalah berbahaya adalah perbudakan stigma digital. Di era serba cepat ini, media mainstream dan media sosial sering kali menjadi alat pembunuh karakter. Sebuah isu yang viral dapat menghancurkan reputasi seseorang, bahkan sebelum kebenaran diuji.
Perbudakan digital menjadikan manusia tidak lagi bebas berekspresi secara jernih, karena takut diserang oleh opini yang diproduksi mesin algoritma.
Merdeka Menjadi Insan yang Mulia
Oleh karena itu, momentum 17 Agustus 2025 harus kita jadikan titik balik. Kemerdekaan yang kita rayakan tidak boleh berhenti pada seremoni pengibaran bendera, parade militer, atau lomba tujuhbelasan.
Kemerdekaan yang sejati adalah ketika setiap anak bangsa merdeka menentukan masa depannya: merdeka untuk tumbuh menjadi pribadi berkarakter, berakhlak mulia, terhormat, konstruktif, kritis, obyektif, sekaligus tetap sholeh dan sholehah sebagai hamba Allah.
Baca juga: Menangani Dugaan Korupsi Kuota Tambahan Haji Dengan Tetap Menjaga Kepentingan Diplomasi
Bangsa yang besar adalah bangsa yang beradab. Kemerdekaan kita harus mewujud dalam perilaku bangsa yang optimis, toleran, bijak, dan saling menghargai perbedaan. Dengan begitu, kita tidak hanya merdeka secara fisik, tetapi juga merdeka secara ruhani dan sosial.
Pesan untuk Para Pejabat Publik
Merdeka dari perbudakan modern berarti memberi peringatan keras kepada para pejabat publik, dari level RT hingga Presiden: jangan sekali-kali memperbudak rakyat dalam berbagai urusan.
Jangan sekali-kali menjadikan rakyat sebagai korban dari kebijakan yang dibuat hanya untuk kepentingan jangka pendek atau kepentingan segelintir kelompok.
Para pejabat harus menyadari bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan hak milik pribadi. Kekuasaan adalah sarana membebaskan rakyat, bukan membelenggunya.
Seorang pemimpin yang sejati adalah ia yang mencontoh Rasulullah SAW—yang kepemimpinannya membebaskan, memuliakan, dan mendidik umat menjadi bangsa berperadaban.
Pesan kepada Para Pembuat Hukum dan Regulasi
Begitu pula, para pembuat hukum, pembuat peraturan, dan pemegang diskresi: ingatlah bahwa setiap keputusan yang Anda buat akan menentukan arah bangsa.
Regulasi bukanlah alat untuk mengkriminalisasi rakyat, melainkan alat untuk melindungi mereka. Jangan ada pasal yang mencabut hak rakyat atas akses, jangan ada kebijakan yang diam-diam digadaikan kepada kepentingan oligarki.
Baca juga: Umroh Mandiri, Suara Siapa? Aspirasi dari Mana?
Bangsa yang merdeka adalah bangsa yang memiliki hukum yang adil, berpihak pada yang lemah, serta membangun peradaban.
Merdeka: Sebuah Perjuangan yang Tak Pernah Usai
Hari ini, tepat pada usia ke-80 kemerdekaan, kita diingatkan bahwa perjuangan belum usai. Kita masih berhadapan dengan bentuk-bentuk penjajahan baru.
Karena itu, kemerdekaan harus kita maknai sebagai ikhtiar tiada henti untuk membebaskan rakyat dari perbudakan modern.
Merdeka bukan hanya hak, tetapi juga tanggung jawab. Setiap kita, apapun posisi dan profesinya, harus berkontribusi agar kemerdekaan sejati ini terwujud.
Mari kita rayakan kemerdekaan dengan tekad untuk tidak lagi menjadi bangsa yang diperbudak, tetapi bangsa yang berdiri tegak, bermartabat, dan beradab.
Merdeka!
Editor : Alim Perdana