Sertifikasi Pembimbing Haji, Saatnya Regulasi Lebih Inklusif dan Berkeadilan

ayojatim.com

Oleh: Ulul Albab
Ketua Litbang DPP AMPHURI
Ketua ICMI Jawa Timur

SETIAP tahun, ratusan ribu jamaah Indonesia menunaikan ibadah haji. Bagi mereka, perjalanan ke Tanah Suci bukan sekadar wisata religi, melainkan sebuah momentum spiritual yang sakral dan penuh harap. Di tengah kompleksitas teknis dan emosional ibadah haji, keberadaan pembimbing ibadah haji adalah faktor kunci.

Baca juga: Kampus di Era AI, Seperti Apa 10 Tahun Mendatang

Mereka adalah para muthawwif, para ustadz, dan kyai yang tidak hanya menjelaskan manasik, tetapi juga mendampingi dengan sabar saat jamaah tertekan, bingung, bahkan panik di tengah kepadatan jutaan umat Islam di Makkah.

Sayangnya, sistem sertifikasi pembimbing ibadah haji kita hari ini belum sepenuhnya mencerminkan semangat pelayanan yang inklusif dan berkeadilan. Regulasinya kaku, mahal, tidak fleksibel, dan cenderung memonopoli proses sertifikasi dalam satu institusi pendidikan tinggi keagamaan, yang juga bertindak sebagai penjamin mutu. Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan masyarakat dan praktisi haji.

Lima Titik Lemah dalam Sistem Sertifikasi Saat Ini

Pertama, tidak adanya relaksasi bagi tokoh agama berpengalaman seperti kyai, ulama pesantren, atau ustaz yang telah puluhan kali membimbing jamaah, namun belum tersertifikasi hanya karena tidak sempat mengikuti pelatihan formal.

Kedua, biaya sertifikasi yang tinggi menjadi penghalang serius bagi para pembimbing dari daerah dan pesantren kecil.

Ketiga, kurikulum pelatihan belum seragam dan terstandarisasi. Ada materi yang tumpang tindih, tidak adaptif dengan perkembangan digital, atau bahkan terlalu normatif.

Keempat, konsentrasi penyelenggara sertifikasi hanya pada PTKIN, yang menjadikan proses ini tidak terbuka bagi lembaga lain seperti LSP dan ormas yang kompeten.

Kelima, mekanisme perpanjangan sertifikat terlalu administratif: harus ikut pelatihan ulang, alih-alih cukup dengan evaluasi berbasis portofolio.

Usulan Revisi: Untuk Sistem yang Lebih Ramah dan Bermutu

Baca juga: Meme dan Negara yang “Serius”

Kami, dari Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI), telah menyusun naskah akademik resmi usulan revisi regulasi sertifikasi pembimbing haji. Isinya antara lain:

1. Relaksasi skema sertifikasi bagi tokoh agama berpengalaman melalui pengakuan pembelajaran lampau (RPL) dan portofolio;

2. Standarisasi kurikulum nasional pelatihan pembimbing haji;

3. Pelibatan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) dan ormas Islam dalam penyelenggaraan;

4. Skema pembiayaan yang berjenjang dan bersubsidi;

5. Sistem perpanjangan sertifikat berbasis evaluasi kinerja dan portofolio;

Baca juga: Tiga Jalan "Cara" Haji yang Harus Kita Pahami

6. Penyusunan roadmap nasional sertifikasi lima tahun ke depan.

Jika revisi ini disetujui dan diimplementasikan, kita tidak hanya menyederhanakan proses, tapi juga menjaga kualitas dan marwah pembimbing ibadah haji Indonesia, baik dari aspek kompetensi teknis maupun spiritualitas keislaman yang mendarah daging dalam kultur pesantren dan dakwah.

Mendorong Regulasi yang Memihak dan Mencerahkan

Kementerian Agama patut diapresiasi atas langkah awal dalam penyusunan skema sertifikasi ini. Namun kini saatnya bergerak lebih maju dengan regulasi yang inklusif, efisien, dan adil. Jangan sampai keharusan administratif menyingkirkan mereka yang selama ini telah berjasa besar dalam membimbing jamaah dengan tulus.

Kami yakin, dengan kolaborasi semua pihak (pemerintah, akademisi, praktisi haji, dan ormas keagamaan) sertifikasi pembimbing haji bisa menjadi sistem yang unggul secara mutu, namun tetap berpihak secara sosial.

Editor : Alim Perdana

Wisata dan Kuliner
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru