Inspirasi di Penghujung Syawal

Reporter : Ulul Albab
Foto ilustrasi/Ali Masduki

Oleh: Ulul Albab
Akademisi Unitomo, Ketua ICMI Jawa Timur,
Ketua Litbang DPP Amphuri

RAMADHAN sudah berlalu. Syawal hampir selesai. Tapi ada satu pertanyaan sederhana, yaitu: Apakah semangat Ramadhan yang menggebu-gebu itu kini masih tersisa?, atau jangan-jangan sudah ikut mudik dan tidak kembali? Hehehe.

Baca juga: Surat Cinta dari ICMI Buat Sahabat Seiman di Jelang Akhir Malam Bulan Ramadhan

Banyak dari kita menjadikan Ramadhan sebagai momen untuk "menjadi baik", tapi hanya sesaat. Setelah takbir Idul Fitri menggema, kita pun kembali ke ritme lama. Shalat malam ditinggal. Tilawah ditunda. Dzikir dan sedekah? Nanti saja, tunggu Ramadhan tahun depan.

Sayangnya, hidup tidak menunggu. Dan Allah pun tidak mencintai "hamba musiman". Karena itu, yang paling penting pasca-Ramadhan bukanlah perayaan, tapi kelanjutan. Bukan sekadar menjaga, tapi mengistiqomahkan. Bahkan, kalau bisa: meningkatkan.

Ramadhan bukan tujuan akhir. Tetapi Ramadhan lebih merupakan madrasah. Sebuah kamp pelatihan spiritual. Yaitu bahwa kita puasa selama 30 hari, bangun sahur, menahan lapar dan hawa nafsu, semua itu hakekatnya adalah latihan. Latihan untuk hidup sebagai hamba, bukan hanya di bulan suci, tapi sepanjang tahun.

Ada hal menarik dalam kaitan ini. Yaitu bahwa dalam dunia psikologi, ada teori tentang habit formation. Teori ini menyatakan bahwa sesuatu yang dilakukan terus menerus selama 21 hari akan bisa menjadi kebiasaan. Maka Ramadhan, dengan 29 atau 30 harinya, sejatinya adalah kesempatan membentuk habit baru. Habit ibadah. Habit kesadaran diri. Habit menjadi lebih manusiawi.

Nah pertanyaanya adalah apakah benar pasca Ramadhan kita punya habit baru itu? Jawabnya tentu “ya”. Tinggal sekarang: kita mau menjaganya atau kita lepaskan begitu saja?

Syawal seharusnya menjadi momentum awal dari perjalanan Panjang kita menjadi hamba. Rasulullah SAW memberi isyarat lewat anjuran puasa enam hari di bulan Syawal. Bukan sekedar sebagai ibadah tambahan, tapi sebagai simbol bahwa semangat Ramadhan tidak boleh berhenti di 1 Syawal.

Dan kita sekarang, berada di ujung Syawal. Di tikungan menuju Dzulhijjah. Bulan yang tidak kalah agung. Bulan Haji. Bulan pengorbanan. Bulan Ibrahim.

Maka, setelah Ramadhan melatih kita untuk menahan, Dzulhijjah mengajak kita untuk memberi (berkorban). Memberi waktu, memberi perhatian, memberi harta, memberi jiwa. Bagi yang berangkat haji, ini adalah waktu mengosongkan diri di hadapan Ka’bah.

Tapi bagi kita yang tidak berhaji, Dzulhijjah tetap mengajak untuk melakukan penggemblengan diri melalui puasa Arafah, takbir, dzikir, dan qurban. Dzulhijjah mengajak kita untuk terus naik kelas.

Kalau Ramadhan adalah bulan mencetak pribadi muttaqin, maka Dzulhijjah adalah bulan menguji ketakwaan itu dengan pengorbanan. Seolah-olah Allah berkata, “Apakah sudah kamu jaga semangat Ramadhanmu? Sekarang buktikan lewat Dzulhijjahmu.”

Inilah kira-kira kata kuncinya: “Tidak perlu spektakuler. Tapi istiqomah.” Maksudnya, untuk menjadi Muslim yang Tangguh itu bukan soal melakukan amal besar. Tapi soal mampu konsisten (istiqomah) dalam kebaikan, sekecil apa pun. Karena Allah mencintai amal yang terus-menerus, meski sedikit.

Baca juga: Optimalisasi Ramadhan dengan Jadwal Harian yang Terencana dan Penuh Makna

Sebagaimana disebutkan dalam Hadis: “Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang dilakukan secara terus-menerus (kontinu), meskipun sedikit.” (HR. Bukhari no. 6464, Muslim no. 782)

Akhir Syawal ini, mari kita jujur pada diri sendiri. Apakah kita masih punya jejak Ramadhan dalam hidup kita hari ini? Atau Ramadhan sudah pergi, dan kita kembali jadi "diri yang lama"?

Jangan khawatir, masih ada waktu untuk menjawabnya. Dan untuk itu, semoga, ketika Dzulhijjah tiba, kita bisa menyambutnya bukan hanya sekedar dengan kambing qurban, atau bahkan sapi korban, tapi juga dilengkapi dengan jiwa yang telah disucikan, ditumbuhkan, dan siap berkorban apapun demi cinta dan rindu serta taqwa kita kepasa Allah SWT. Karena sejatinya hidup ini bukan hanya tentang ritual. Tapi tentang perjalanan jiwa menuju Allah, tanpa tanggal kedaluwarsa.

Penutup: Yuk Menjadi Hamba yang Istiqomah, Bukan Hamba Yang Musiman

Umat Islam tidak boleh menjadi hamba musiman. Ibadah bukan hanya untuk Ramadhan, dan semangat spiritual bukan hanya untuk bulan-bulan tertentu. Ramadhan melatih kita, Syawal menguji kita, dan Dzulhijjah menantang kita untuk naik ke jenjang pengorbanan tertinggi.

Semoga kita menjadi hamba yang tidak hanya kuat dalam semangat awal, tapi juga tangguh dalam menjaga dan meningkatkannya. Sebab Allah tidak hanya melihat sejauh mana kita memulai, tapi sekuat apa kita menyempurnakan perjalanan.

Baca juga: Berburu Malam Lailatul Qodar, Kenali 6 Tanda-Tandanya

Sebagai pribadi yang diberi amanah untuk memimpin ICMI Jawa Timur, dan juga sebagai Ketua Litbang di DPP Amphuri (asosiasi terbesar penyelenggara haji dan umrah di Indonesia) saya merasakan betapa pentingnya menghadirkan semangat Ramadhan dan nilai-nilai haji ke dalam kehidupan sosial kita, secara nyata, konsisten, dan kolektif.

Mari kita terus melangkah bersama. Bukan hanya menjaga ibadah, tapi menumbuhkan peradaban. Menjadi umat yang bukan hanya taat secara pribadi, tapi juga kuat dalam membimbing dan menginspirasi sesama.

Mengapa? Karena perjalanan menuju Allah tak pernah sendirian. Kita tempuh bersama, berjamaah, saling menguatkan, hingga sampai pada-Nya. Sebagaimana yang difirmankan Allah SWT:

"Dan orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh untuk berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah yang akan dirahmati Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. At-Tawbah: 71)

Surabaya, 29 Syawwal 1446 H – 28 April 2025.

 

Editor : Alim Perdana

Wisata dan Kuliner
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru