Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur
TANGGAL 24 Desember 2025 siang, seorang kawan selesai kontrol kesehatan di salah satu rumah sakit di Surabaya. Dokter spesialis telah memeriksanya, memberi rekomendasi, dan menerbitkan resep yang langsung online ke bagian farmasi. Ia disuruh mengambil obat di bagian farmasi.
Namun karena antrean pengambilan obat di instalasi farmasi mengular panjang, ia memutuskan pulang dan berencana mengambil obat di lain hari.
Enam hari kemudian, 30 Desember, ia kembali ke rumah sakit yang sama untuk mengambil obat. Ternyata tidak bisa dilayani. Aturan rumah sakit menyebut bahwa pengambilan obat maksimal hanya dalam jangka 2 × 24 jam. Lewat dari itu, pelayanan hangus.
Ia baru tahu hari itu bahwa ada aturan yang ditempel di kaca. Tak ada petugas yang memberi tahu dia tentang aturan tersebut ketika dia usai pemeriksaan. Petugas farmasi dengan sopan meminta maaf tidak bisa melayani dia karena adanya aturan tersebut.
Terhadap kasus ini saya (penulis) ingin membuat refleksi dengan bertanya secara terbuka kepada publik, BPJS Kesehatan, dan pengelola rumah sakit:
Apakah wajar obat yang telah menjadi hak pasien, yang dibayar negara melalui BPJS, tidak bisa diakses hanya karena terlambat pengambilan?
Kemana obat tersebut? Apakah kembali ke stok farmasi? Bagaimana dengan biaya klaimnya? Apakah sudah dihitung sebagai pelayanan yang selesai?
Ini bukan soal satu orang. Saya meyakini, banyak peserta BPJS lain mungkin mengalami hal serupa kawan tadi, namun memilih diam, pasrah karena merasa prosedur rumah sakit sulit dilawan. Di sinilah persoalan tata kelola layanan kesehatan kita menjadi penting untuk dibicarakan secara terbuka.
Aturan Boleh, Tapi Hak Pasien Tidak Boleh Dihapus
Kita semua memahami, rumah sakit tentu memiliki SOP internal. Namun pelayanan publik bukan sekadar soal prosedur, tetapi juga yang lebih penting adalah soal kepekaan, fleksibilitas, dan perlindungan hak pasien.
Regulasi BPJS menyebut bahwa obat merupakan bagian integral dari paket pelayanan rawat jalan. Ketika dokter menulis resep, obat itu bukan lagi sekadar benda di rak farmasi, tapi telah berubah menjadi hak pasien. Hak atas kesembuhan.
Kita tidak mempermasalahkan aturan 2 × 24 jam. Yang menjadi catatan adalah: Mengapa tidak ada mekanisme solusi bagi pasien yang terlambat?
Mengapa tidak diberi pilihan penjadwalan ulang atau pencetakan resep ulang otomatis? Mengapa komunikasi hak pasien tidak disampaikan sejak awal, sejak masih ada di ruang pemeriksaan dokter?
Potensi Celah Fraud yang Perlu Diawasi
Mari kita bicara fakta teknis yang sering hanya dibahas di ruang auditor. Sistem pembayaran BPJS ke rumah sakit menggunakan skema INA-CBGs. Ketika pemeriksaan dilakukan dan resep diterbitkan, maka paket layanan berpotensi tetap diklaim.
Bila obat tidak diambil pasien namun tetap tercatat keluar dalam sistem, lalu stok fisiknya kembali ke farmasi, maka rumah sakit dapat menerima: pembayaran klaim layanan, tapi stok obat tidak berkurang. Tentu kita tidak boleh gegabah menuding rumah sakit mengambil keuntungan.
Tetapi secara etika kebijakan, ini celah moral hazard yang harus ditutup rapi sejak dini sebelum menjadi praktik sistemik.
Hari ini mungkin satu kasus kecil. Besok siapa tahu bisa ratusan. Dan bila tak dikontrol, tahun depan bisa menjadi “kebocoran halus” dalam sistem jaminan kesehatan nasional.
Waktu Tepat Refleksi Sistem Kesehatan Kita
Di penghujung tahun 2025, ketika bangsa sibuk merayakan pergantian tahun, mari kita luangkan waktu sejenak untuk merenung: Apakah layanan kesehatan kita sudah cukup menghormati martabat pasien?
Rumah sakit dan BPJS perlu duduk bersama untuk mengevaluasi SOP pengambilan obat, terutama dalam hal:
1. Fleksibilitas waktu pengambilan obat bagi pasien luar kota/berkendala
2. Penjelasan hak pasien sejak awal pemeriksaan
3. Sistem pencetakan ulang resep tanpa harus kontrol kembali
4. Audit klaim obat untuk menghindari potensi fraud
5. Layanan farmasi yang humanis dan komunikatif
Layanan Publik adalah Cermin Keberadaban
Kesehatan adalah hak dasar setiap warga negara. Ketika seseorang mencari obat, ia sebenarnya sedang mencari harapan untuk sembuh. Jangan sampai harapan itu kandas hanya karena terbentur kalimat, “maaf sudah lewat 2 x 24 jam.”
Kasus ini perlu dilihat sebagai peringatan dini agar sistem kita tidak membiarkan celah menjadi budaya.
Dan tulisan ini saya persembahkan bukan sebagai kritik, tetapi sebagai cermin agar kita para penyelenggara BPJS dan RS lebih adil, lebih bijak, lebih peduli pada pasien, terutama mereka yang tak mampu bersuara. Karena sehat tidak hanya ditopang oleh obat, tetapi juga oleh keadilan layanan.
Editor : Alim Perdana