ayojatim.com skyscraper
ayojatim.com skyscraper

Surabaya Sudah Maju, Tapi Bagaimana Madura dan Tapal Kuda?

avatar Ulul Albab
  • URL berhasil dicopy
Jatim bukan hanya Surabaya. Di belakangnya ada Madura. Ada Tapal Kuda. Ada kawasan non-metropolitan yang denyut layanannya masih tersengal. Foto/Ali Masduki
Jatim bukan hanya Surabaya. Di belakangnya ada Madura. Ada Tapal Kuda. Ada kawasan non-metropolitan yang denyut layanannya masih tersengal. Foto/Ali Masduki

Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur

DI PENGHUJUNG 2025, ICMI Jawa Timur tidak hanya membaca angka-angka kinerja, tetapi juga mencoba menangkap arah besar pembangunan layanan publik di provinsi dengan bentang wilayah dan keragaman sosial yang sangat luas. 

Seri kajian ini ingin menegaskan satu hal, yaitu: keberhasilan layanan publik tidak cukup diukur dari pusat-pusat pertumbuhan, tetapi dari sejauh mana negara hadir secara adil hingga ke wilayah non-metropolitan.

Surabaya itu seperti etalase. Rapi. Terang. Mengilap. Kalau Jawa Timur adalah rumah besar, maka Surabaya itu ruang tamunya. Tamu datang, duduk, lalu pulang dengan kesan: “Jatim sudah maju.” Tapi rumah tidak hanya ruang tamu. 

Jatim bukan hanya Surabaya. Di belakangnya ada Madura. Ada Tapal Kuda. Ada kawasan non-metropolitan yang denyut layanannya masih tersengal.

Kita semua sudah tahu, Surabaya telah melaju jauh sebagai kota layanan modern. Digitalisasi perizinan, integrasi data kependudukan, dan kecepatan respons birokrasi menjadi etalase kemajuan Jawa Timur. 

Namun pertanyaan yang lebih substantif adalah: apakah standar layanan yang sama telah menjangkau Madura, Tapal Kuda, dan wilayah-wilayah pinggiran lainnya?

Tantangan Bukan Regulasi, Tapi Ketimpangan Mutu

Secara kelembagaan, tidak ada kekosongan regulasi layanan publik. Undang-undang, standar pelayanan minimal (SPM), hingga sistem pengawasan telah tersedia. Persoalannya terletak pada kesenjangan mutu layanan, bukan pada tidak adanya aturan.

Data Ombudsman RI menunjukkan bahwa laporan masyarakat terkait maladministrasi masih relatif tinggi di sektor layanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan administrasi kependudukan, terutama di daerah dengan keterbatasan kapasitas fiskal dan SDM. 

BPS juga mencatat adanya disparitas rasio tenaga kesehatan, kualitas sarana pendidikan, serta akses layanan dasar antara wilayah metropolitan dan non-metropolitan di Jawa Timur.

Ini menegaskan bahwa problem utama bukan “siapa yang berwenang”, tapi bagaimana kewenangan yang terfragmentasi itu disinergikan.

Posisi Strategis Pemprov: Pengarah, Bukan Pengambil Alih

Dalam kerangka otonomi daerah, layanan publik dasar memang menjadi kewenangan kabupaten/kota. Namun itu tidak berarti Pemprov Jawa Timur kehilangan peran strategis. Justru di sinilah fungsi kunci provinsi diuji: sebagai policy leader, standard setter, dan capacity enabler.

Reformasi layanan publik di daerah non-metropolitan tidak menuntut Pemprov turun langsung mengelola puskesmas atau kecamatan. Yang dibutuhkan adalah:

1. Penetapan standar mutu layanan antarwilayah: Pemprov dapat memperkuat peran pembinaan dengan menetapkan standar mutu layanan publik lintas kabupaten/kota, termasuk indikator waktu layanan, kepastian prosedur, dan kepuasan pengguna. Standar ini menjadi rujukan evaluasi, bukan intervensi operasional.

2. Skema afirmasi berbasis wilayah: Ketimpangan layanan tidak bisa diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar fiskal daerah. 

Pemprov dapat merancang skema afirmasi: insentif fiskal tematik, bantuan teknis, dan prioritas program provinsi bagi daerah dengan indeks layanan publik rendah, tanpa mengambil alih kewenangan kabupaten/kota.

3. Penguatan kapasitas aparatur daerah: Alih-alih mengatur kecamatan, Pemprov dapat memfasilitasi peningkatan kapasitas ASN kabupaten/kota melalui pelatihan manajerial layanan publik, digital governance, dan inovasi pelayanan. Fokusnya bukan struktur, tetapi kompetensi.

Frontliner sebagai Titik Kritis Mutu Layanan

Layanan publik pada akhirnya ditentukan di “titik depan/lapangan”, yaitu di: puskesmas, sekolah, kantor kecamatan, dan unit layanan dasar lainnya. Di sinilah wajah negara benar-benar dirasakan warga.

Namun banyak frontliner di daerah non-metropolitan bekerja dengan keterbatasan, yaitu: beban kerja tinggi, sarana minim, dan insentif yang tidak kompetitif. 

Pemprov tidak perlu mengelola mereka, tetapi dapat mendorong kebijakan lintas sektor: dengan rekomendasi insentif khusus, skema penghargaan kinerja layanan publik daerah, serta dukungan non-fiskal bagi kabupaten/kota yang berani melakukan reformasi layanan.

Dari Ketimpangan Wilayah ke Keadilan Akses

Reformasi layanan publik di Jawa Timur tidak boleh terjebak pada narasi “daerah tertinggal sebagai objek bantuan”. Yang dibutuhkan adalah perubahan paradigma: “keadilan akses sebagai ukuran keberhasilan pembangunan.”

Surabaya yang maju adalah aset. Tetapi Madura dan Tapal Kuda yang tertinggal adalah ujian kepemimpinan provinsi. 

Pemprov Jawa Timur memiliki posisi strategis untuk menjembatani keduanya. Bukan dengan sentralisasi kewenangan, tapi dengan orkestrasi kebijakan.

Penutup: Kepemimpinan Wilayah yang Menyatukan

ICMI Jawa Timur memandang bahwa 2026 harus menjadi momentum reformasi layanan publik yang lebih adil secara wilayah. 

Pemprov tidak perlu mengambil alih peran kabupaten/kota, tetapi harus berani memimpin arah, menetapkan standar, dan memastikan tidak ada warga Jawa Timur yang tertinggal hanya karena alamat tempat tinggalnya.

Surabaya boleh menjadi etalase. Tetapi Madura dan Tapal Kuda harus menjadi prioritas keadilan. Di situlah makna kepemimpinan provinsi diuji.

 

Editor :

Selamat Datang Indonesia Hancur!
Opini   

Selamat Datang Indonesia Hancur!

BUKAN hanya di Jawa Barat dan beberapa wilayah lainnya di Pulau Jawa, di Pulau Dewata Bali juga terjadi bencana. Terdasyat terjadi terakhir di Sumatera.…