Dukungan kepada Pondok Pesantren Lirboyo, Senator Lia: Bukti Nyata Kekuatan Modal Sosial Santri

Dr. Lia Istifhama, Anggota DPD RI Dapil Jawa Timur. foto: B59.
Dr. Lia Istifhama, Anggota DPD RI Dapil Jawa Timur. foto: B59.

JAKARTA - Permintaan maaf belum meredakan semuanya. Hal ini yang nampak pasca Andi Chairil selaku Production Director TRANS7, menyampaikan permohonan maaf gegara kegaduhan yang muncul dalam tayangan program “Xpose Uncensored”, Senin, 13 Oktober 2025.

Tagar #BoikotTrans7 pun viral dalam berbagai platform media sosial, terutama X (sebelumnya Twitter), gegara tayangan dan narasi suara (voice over) yang dituding melecehkan Pondok Pesantren (Ponpes) Lirboyo, Kediri.

Publik pun kompak menyebut unggahan program TV tersebut tidak beretika dan merendahkan martabat kiai sepuh, KH. Anwar Manshur.

Beragam tanggapan tajam netizen pada pelecahan pada Pondok Pesantren pun mengalir deras. Gelombang dukungan yang mengecam unggahan Trans7 menjadi trending.

Fokus utama keberatan publik terletak pada narasi suara (voice over) yang dianggap tidak etis, merendahkan, dan keliru dalam menggambarkan kehidupan pesantren.

Tim redaksi “Xpose Uncensored” menggunakan pilihan kata yang dinilai sangat mencederai perasaan komunitas pesantren.

Sebuah segmen dari salah satu program mereka dituding telah menyinggung secara serius martabat Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, sebuah institusi pendidikan Islam yang sangat dihormati.

Adapun judul dari salah satu episodenya dinilai provokatif, yakni dengan isi kalimat “Santrinya Minum Susu Aja Kudu Jongkok, Emang Gini Kehidupan Pondok?”.

“Acara pemberitaan sampah kaya gini emang cara yang paling mudah dan murah. Beritanya dibangun tanpa observasi, riset, wawancara, lalu membuat kesimpulan sesuai yang ada di tempurung kepala mereka,” cuit salah satu warganet di media sosial X.

Banyak pihak yang menilai bahwa tayangan tersebut melecehkan kiai serta lembaga pendidikan pondok pesantren secara keseluruhan. Penyajian kontennya dianggap memojokkan kehidupan para santri sehingga berpotensi menimbulkan kesalahpahaman masyarakat.

“Ketemu kiai nya masih ngesot dan cium tangan. Dan ternyata yang ngesot itulah yang ngasih amplop. Netizen curiga bahwa bisa jadi inilah kenapa sebagian kiai makin kaya raya,” ucap narator dari tayangan tersebut.

“Padahal kan harusnya kalau kaya raya mah umatnya yang dikasih duit enggak sih?,” imbuh pengisi suara.

Tak ayal, gelombang kecaman pada program Trans7 itupun masih mengalir deras bahkan kian menyeruak di mana-mana.

Sebut saja, diantaranya datang dari Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), Ketua Umum Jaringan Kiai dan Santri Nasional (JKSN) Prof Dr Kiai Asep Saifuddin Chalim, Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah KH Cholil Nafis, Legislator Maman Imanulhaq, Senator Ahmad Nawardi dan Dr. Lia Istifhama, Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor Addin Jauharudin, Ketua KPID Jawa Timur Royin Fauziana, dan sebagainya.

Derasnya aliran dukungan tersebut, oleh Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Dr. Lia Istifhama, sebagai potret dua hal besar.

Pertama, ia menyebut bukti nyata kekuatan modal sosial santri.

“Kita harus akui, bahwa gelombang dukungan yang mengalir deras kepada kepada Ponpes Lirboyo dan sebaliknya, kecaman keras kepada tayangan provokasi yang membuat stereotype negative pada lingkungan pesantren, merupakan bukti nyata kekuatan modal sosial santri,” ujarnya, Rabu (15/10/2025).

“Mengapa modal sosial santri begitu tinggi? Itu berarti didikan ilmu, akhlak, dan semangat hablum minannas atau solidaritas sosial mereka telah berhasil ditempa para kiai, gus, atau ustadz yang mendidiknya dalam lingkungan pesantren. Ini fakta yang harus kita banggakan bersama karena besarnya kekuatan santri, juga merujuk pada penguat SDM bangsa ini.”

Tokoh Nahdliyin Inspiratif versi Forkom Jurnalis Nahdliyin itu menambahkan, fakta tersebut angin segar menjelang Hari Santri Nasional 22 Oktober nanti.

“Potret kekompakan santri menjaga marwah kiai dan pesantren, adalah angin segar, oase, menjelang Hari Santri Nasional. Ini membuktikan bahwa santri adalah wujud nyata anak bangsa yang sehat akal pikiran, tangguh dan kuat dalam mental, serta cerdas mengikuti peradaban zaman.

Terbukti, mereka mampu mengisi suara digital, suara-suara netizen, sebagai suara positif bahwa dunia pesantren adalah peradaban Indonesia, jadi harus selalu dijaga keberlanjutannya.”

Sedangkan poin kedua yang ning Lia sampaikan, bahwa dukungan pada lingkungan Pondok Pesantren menunjukkan identitas Indonesia sebagai Bangsa Humanis Religius.

“Saat suara-suara santri menyatu menjadi gelombang besar yang tak terbendung, maka disinilah identitas Indonesia sebagai negara Humanisme Religius, tak terbantahkan. Indonesia mampu berdiri sebagai negara dengan kekuatan aksi-aksi kemanusiaan, kepedulian, dan menolak framing negative yang membuat kegaduhan dan merusak nilai-nilai sosial. Dan Indonesia merupakan negara yang santun dan menghormati nilai-nilai agama.”

“Jadi saya kira, persoalan tagar boikot Trans7, menjadi pembelajaran besar untuk kita semua. Bahwa jangan sekali-kali mengutamakan keinginan viral tapi melupakan kaidah-kaidah sosial, apalagi caranya sangat jelas provokasi. Maka akhirnya viral beneran, kan? Tapi viralnya justru merugikan pihak yang provokatif itu sendiri. Meredam atensi publik pun sangat tidak mudah saat ini. Jadi saya kira proses muhasabah oleh pihak terkait, harus dilakukan ekstra kerja keras agar publik bisa memaafkan.”

Selain itu, senator cantik yang September lalu meraih survey sebagai wakil rakyat terpopuler di Jawa Timur tersebut, juga spill Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

“Sudah sangat jelas, dalam Pasal 4, Penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial. Maka jangan sampai ada oknum yang mengalihkan fungsi mulia penyiaran sebagai sumber provokasi atau memperkeruh suasana. Kalau hanya mencari viral, maka ia pun akan berhadapan dengan dua mata pisau, yang mana berpotensi tersandung sebagai kesalahan fatal.”

Usut punya usut, politikus yang dikenal humble itu, ternyata pernah nyantri, lho.

“Kalau bicara pondok pesantren misalnya, budaya nyantri dan kehidupan sosial santri, maka harus berpengalaman sebagai santri, setidaknya lakukan riset mendalam. Saya sendiri, saat SMA, kebetulan pernah nyantri.”

“Saya menempuh pendidikan di SMA negeri pada jam sekolah, dan di luar jam sekolah saya tinggal di sebuah Pondok Pesantren. Selama mondok di sebuah tempat yang berbeda ritme lingkungan sosial dengan sekolah negeri, tentu banyak sekali Kesan unik yang saya dapatkan. Kebersamaan begitu terasa karena kami di pondok biasa makan bareng-bareng dalam wadah besar. Kemudian ro’an atau kerja bakti di hari Minggu.”

“Fine-fine aja terkait roan tersebut, karena dilakukan bersama dengan sembari canda gurau, maka justru itu menjadi kenangan indah. Tradisi-tradisi santri, jika tidak memahami secara utuh, seharusnya jangan asal komen. Karena terbukti, gelombang dukungan pada pondok pesantren, kian tak terbendung. Itu bukti alumni santri merasakan pengalaman penuh keberkahan, kebahagiaan. Dan yang pasti, proses kemerdekaan negeri kita tak lepas dari semangat jihad para santri, ini tidak boleh di-skip sampai kapanpun.”

Pantas saja, ning Lia ternyata putri tokoh NU KH. Masykur Hasyim, ia bahkan menjadi Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Banin wal Banat, sebuah boarding atau asrama untuk mahasiswa di Surabaya.

Editor : Diday Rosadi