Oleh: Ulul Albab
(Ketua ICMI Jawa Timur, Akademisi,
Ketua Litbang DPP Amphuri)
ARTIKEL ini sengaja saya tulis sebagai pesan moral. Sebagai akademisi yang konsen pada tata kelola good governance dan gerakan antikorupsi, sekaligus sebagai Ketua ICMI Jawa Timur dan Ketua Litbang DPP Amphuri, saya merasa punya kepentingan untuk ikut menyuarakan pentingnya tata kelola haji yang lebih profesional dan berkeadaban.
Ada satu hal lagi yang membuat tulisan ini terasa personal: saya adalah adik kelas Gus Irfan di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (FIA UB). Maka, tulisan ini sekaligus dukungan moral dari seorang sejawat sealumni, yang ingin melihat Gus Irfan benar-benar mampu menjadi simbol alumni UB yang lurus dan berintegritas.
Nama lengkapnya Mochamad Irfan Yusuf. Tapi kita mengenalnya dengan panggilan Gus Irfan. Putra dari tokoh karismatik KH Yusuf Hasyim, Tebuireng, Jombang. Kini beliau dipercaya Presiden Prabowo Subianto memimpin kementerian baru: Kementerian Haji dan Umrah (Kemenhaj).
Jabatan baru, kementerian baru, beban pun baru. Apalagi beliau memimpin Kementerian baru ini setelah kasus korupsi kuota haji 2024, yang kini tengah disidik KPK, mencoreng wajah negeri ini. Dalam satu kesempatan resmi Gus Irfan dengan tegas berkata: “Tidak boleh ada permainan dalam urusan haji.”
Kalimat itu sederhana. Tapi berat. Karena permainan dalam urusan haji bukan cerita baru. Bahkan sudah berakar panjang, dari urusan kuota, akomodasi, katering, hingga transportasi. Dari praktik “titip menitip” sampai “jatah-jatahan”. Maka pertanyaannya adalah: bisakah kementerian baru ini benar-benar bersih?
Gus Irfan memulai memimpin Kemenhaj yang baru ini dengan lima nilai utama: Melayani, Amanah, Berintegritas, Responsif, dan Ramah. Kalau dibaca sekilas, mungkin seperti jargon birokrasi pada umumnya. Tapi mari kita beri ruang harapan. Karena setidaknya, beliau berani bicara soal integritas dan zero tolerance terhadap pungutan liar sekecil apa pun.
Meski kita semua tahu bahwa bicara integritas tidak cukup di level jargon. Harus menyentuh hal paling rawan, yaitu: uang jamaah. Di sinilah lubang terbesar sering muncul. Setiap rupiah yang dikelola untuk haji harus transparan. Tidak boleh ada ruang gelap.
Kemenhaj harus belajar dari kasus 2024. Korupsi terjadi bukan hanya karena ada celah di eksekutif, tapi juga karena lemahnya sistem kontrol. Di titik ini, kita juga perlu bicara tentang DPR RI.
Sebesar apa pun niat Kemenhaj untuk bersih, faktanya setiap alokasi anggaran tetap harus melewati meja DPR, khususnya Komisi VIII. Tanpa ketok palu DPR, tidak ada satu rupiah pun yang bisa keluar dari BPKH. Artinya, DPR bukan hanya penonton. Mereka bagian dari cerita.
Kalau ada kebijakan yang keliru, sangat kecil kemungkinannya DPR tidak tahu. Karena logika itulah maka kita sering bertanya: selama ini DPR hanya mengawasi atau ikut merestui? Jangan sampai lembaga pengawas justru menjadi bagian dari permainan.
Karena itu, pengawasan tidak boleh berhenti di kementerian. DPR pun harus diawasi. Mereka wakil rakyat, bukan wakil birokrasi. Kalau rakyat bisa kecewa pada kementerian karena permainan kuota, rakyat juga berhak kecewa pada DPR bila mereka membiarkan permainan itu.
Ke depan, transparansi seharusnya juga mencatat siapa saja anggota DPR yang memberi persetujuan. Supaya jelas siapa yang berpihak, siapa yang diam. Ini penting agar kita tidak terjebak menyalahkan satu pihak saja.
Selain DPR, ada kekuatan lain yang sering dilupakan, yaitu: masyarakat sipil. Organisasi kemasyarakatan, asosiasi penyelenggara haji-umrah, akademisi, bahkan media massa. Semua bisa menjadi “mata ketiga” yang ikut mengawasi. Tanpa partisipasi publik, godaan bermain dalam urusan haji akan selalu besar.
Disamping pengawasan, keterlibatan masyarakat sipil juga penting untuk memperkuat tim haji. Tidak semua hal bisa diurus birokrasi. Ada kebutuhan lapangan yang hanya bisa dijawab dengan fleksibilitas dan jejaring masyarakat.
Maka, tugas Gus Irfan bukan hanya merapikan birokrasi. Tapi juga membangun ekosistem. Ekosistem yang sehat, transparan, dan partisipatif.
Kemenhaj harus berani membuat terobosan digital: sistem data jamaah yang terbuka, aplikasi layanan yang bisa diakses publik, laporan keuangan yang bisa dilihat siapa saja. Transparansi digital bisa menjadi “vaksin” untuk mencegah penyakit lama.
Haji itu ibadah. Tapi di Indonesia, ia juga politik. Jutaan jamaah, triliunan dana, ribuan kepentingan. Kementerian baru ini harus membuktikan dirinya tidak sekadar formalitas birokrasi. Kalau hanya sama dengan sebelumnya, apa gunanya ada kementerian baru? Kalau lebih buruk, tentu jadi musibah. Tapi kalau lebih baik, inilah warisan besar bagi bangsa.
Saya percaya Gus Irfan paham betul beban ini. Beliau tumbuh di pesantren. Dididik dalam kultur amanah dan integritas. Tinggal bagaimana beliau membuktikan bahwa nilai-nilai itu bisa dibawa ke birokrasi.
Sebagai adik kelasnya di FIA UB, saya ingin menitip pesan moral: jangan pernah kompromi dengan integritas. Jadilah contoh nyata bahwa alumni FIA UB bisa menjadi pemimpin yang lurus, berani, dan berintegritas.
Masyarakat sedang menunggu. Jamaah haji sedang berharap. Apakah Kemenhaj benar-benar bisa menjadi tonggak baru tata kelola haji yang bersih? Ataukah hanya lembaran baru dengan tinta lama?
Jawabannya ada di kerja nyata. Selamat berbenah sahabat. Yakinlah bahwa jika anda mengabdi dengan taqwah dan istiqomah, maka malaikat yang akan turun membantu, menjadi wali anda dalam segala urusan. Salam semangat.
Editor : Alim Perdana