Memahami Kasus Dugaan Korupsi dalam Soal Pembagian Kuota Haji Tambahan 2024

Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Orwil Jawa Timur

PERNYATAAN Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa penyelidikan dugaan korupsi kuota haji khusus 2024 sudah memasuki “babak akhir” layak menjadi perhatian serius umat dan bangsa.

Kasus ini menyentuh aspek paling sensitif dalam pelayanan publik, yaitu pelayanan ibadah haji, yang dalam pandangan etika administrasi publik adalah public sacred service atau pelayanan publik yang bersifat suci (Rainey, 2014).

Yang lebih menarik perhatian lagi adalah perkembangan terbarunya yang bisa kita baca beritanya hari ini, yaitu bahwa: KPK meningkatkan penyelidikan kasus ini ke tahap Penyidikan.

Salah satu judul berita di pagi ini bahkan menulis: “Dini Hari, KPK Umumkan Perkara Dugaan Korupsi Kuota Haji Naik ke Tahap Penyidikan.”

Artikel ini saya tulis sebagai bagian dari rangkaian proses pentahapan riset saya tentang tata kelola penyelenggaraan haji di Indonesia, yang reformasi dan transformasinya sudah mulai dilakukan oleh Presiden Prabowo dengan membentuk Badan Penyelenggara Haji (BP Haji), yang dalam agendanya BP Haji ini akan ditingkatkan menjadi Kementerian baru, yaitu Kementerian Haji.

Saya ingin mengikuti perkembangan transformasi ini, mulai dari latar belakang atau motifnya, prosesnya, hingga dampaknya, baik dalam perspektif ilmiah akademik maupun dalam perspektif praktek administrasi publik.

Perlu saya tegaskan bahwa tulisan ini adalah bagian dari peran saya sebagai akademisi sekaligus sebagai aktivis ICMI, yang terpanggil untuk berkontribusi mendorong terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang good governance.

Apa yang menjadi soal? Yaitu tambahan kuota haji sebesar 20.000 dari Pemerintah Arab Saudi, yang oleh Kementerian Agama dibagi secara sama, yaitu 50% untuk haji reguler, 50% untuk haji khusus.

Artinya, masing-masing 10.000. Padahal Pasal 64 UU No. 8 Tahun 2019 mengatur tegas komposisi kuota: 92% untuk haji reguler dan 8% untuk haji khusus. Perbedaan signifikan ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah ini bentuk diskresi menteri atau pelanggaran norma hukum yang bersifat imperatif?

 Keadilan yang Tergadaikan

Dalam literatur tata kelola publik, perubahan alokasi yang menyimpang dari hukum positif berpotensi masuk kategori state capture corruption, yaitu ketika kebijakan publik diubah atau direkayasa untuk menguntungkan kelompok tertentu (Hellman, Jones, & Kaufmann, 2000).

PIHK (Penyelenggara Ibadah Haji Khusus) yang seharusnya menjadi mitra pemerintah justru bisa terseret stigma negatif jika pembagian kuota dimanfaatkan demi kepentingan segelintir pihak.

Apalagi yang dipertaruhkan dalam kasus ini bukan hanya uang, tetapi keadilan ibadah. Jamaah haji reguler di Indonesia rata-rata menunggu lebih dari 20 tahun untuk berangkat (Badan Pusat Statistik, 2023). Tambahan kuota seharusnya digunakan untuk mempersingkat antrean ini, bukan ditentukan berdasakan mekanisme pasar.

 Perspektif Yuridis

Secara hukum, ketentuan proporsi kuota dalam Pasal 64 UU No. 8/2019 bersifat dwingend recht atau hukum memaksa (Marzuki, 2021). Setiap penyimpangan yang memberikan keuntungan bagi pihak tertentu dapat memenuhi unsur tindak pidana korupsi sesuai UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001.

Pasal 3 jelas menyatakan bahwa penyalahgunaan kewenangan yang merugikan negara atau perekonomian rakyat adalah tindak pidana korupsi.

Memang, diskresi diakui dalam hukum administrasi publik (Ridwan HR, 2022), namun diskresi hanya sah jika berada dalam koridor undang-undang dan asas good governance, yaitu: transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan bebas konflik kepentingan (World Bank, 1992).

Jika keluar dari koridor tersebut, maka diskresi berubah menjadi legitimasi pelanggaran.

Pelajaran untuk PIHK dan Pemerintah

PIHK harus menyadari bahwa keterlibatan dalam penerimaan kuota tambahan yang dasarnya lemah dapat menyeret ke persoalan hukum.

Prinsip integritas (integrity principle) dalam pelayanan publik mengharuskan penolakan terhadap fasilitas yang melanggar hukum (Huberts, 2018).

Bagi pemerintah, kasus ini adalah ujian keseriusan reformasi tata kelola haji. Apabila terbukti terjadi pelanggaran, akuntabilitas harus diberlakukan bagi seluruh jenjang pengambil keputusan, termasuk di level puncak. Tanpa itu, reformasi akan berhenti pada slogan saja.

 Menjaga Kesucian Ibadah Haji

KPK perlu menuntaskan kasus ini dengan bukti yang terang benderang. Pengungkapan harus menjadi langkah awal pembenahan, jangan sampai dilakukan hanya untuk mencari kambing hitam. Sebab, pengaturan Ibadah haji harus terbebas dari aroma transaksional.

Harus disadari bahwa Kuota Haji adalah amanah, bukan komoditas. Dan untuk semua amanah yang diemban, harus benar-benar tersampaikan kepada yang berhak.

Sebagaimana pesan Khalifah Umar bin Khattab: "Siapa yang menguasai urusan umat lalu menutup pintunya dari mereka, Allah akan menutup pintu rahmat-Nya darinya pada hari kiamat" (HR. Bukhari).

Pintu pelayanan haji harus terbuka, transparan, adil, dan Amanah, sesuai dengan prinsip public trust theory yang menempatkan pejabat publik sebagai pemegang amanah rakyat (Freeman & Stewart, 2006).

Kita tunggu saja bagaimana ending dari kasus ini. Akankah berakhir dengan semangat membangun keadaban dan kebijaksanaan, dengan menjadikan kasus ini sebagai pembelajaran bahwa ke depan perlu ada revisi ketentuan pembagian proporsi jamaah utk haji khusus diputuskan dengan kalimat "Minimal 8%" dan kasus dihentikan?

Ataukah berujung pada persidangan Panjang, yang melibatkan makin banyak orang, yang bisa berpotensi menurunkan kepercayaan ummat pada pelaksanaan haji di tahun2 mendatang?

Editor : Alim Perdana