Oleh: Ulul Albab
Ketua Bidang Litbang DPP AMPHURI
Ketua ICMI Jawa Timur
HARI ini, Jumat 8 Agustus 2025, kita kembali dihadapkan pada kegelisahan terkait haji 2025 kemaren, yaitu: ribuan calon jamaah haji furoda tahun 2025 gagal berangkat akibat visa yang tak kunjung diterbitkan oleh Pemerintah Arab Saudi.
Dan kini, kabar terbaru dari Ketua Badan Penyelenggara Ibadah Haji (BP Haji), Gus Irfan (Mochamad Irfan Yusuf), menyebutkan bahwa skema haji furoda tahun 2026 kemungkinan besar ditiadakan.
Sebuah kabar yang tentu saja memantik keresahan lanjutan, terutama bagi Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) dan para calon jamaah yang telah menabung, berharap, dan bahkan membayar mahal untuk meraih kesempatan ke Tanah Suci melalui jalur nonkuota tersebut.
Tentu saja pertanyaan kita Adalah: apakah semua ini boleh dibiarkan berjalan begitu saja seperti air mengalir? Apakah pemerintah cukup boleh hanya berdiri di satu sisi “netral” dan mengatakan “itu kewenangan Saudi”?
Di sinilah refleksi kritis dan tanggung jawab moral serta kebijakan harus kita dorong untuk tampil ke permukaan. Dan untuk niat itulah kajian ringan ini kami lakukan.
Fenomena Furoda: Antara Hak Individu dan Regulasi Negara
Skema haji furoda atau visa mujamalah memang berada di luar kuota resmi pemerintah Indonesia. Kita mengenalnya sebagai visa undangan langsung dari pemerintah Saudi, yang sering diberikan atas dasar hubungan diplomatik, institusional, atau kerja sama bisnis antarlembaga.
Namun dalam konteks Indonesia, problem muncul ketika jalur ini menjadi urusan komersial, ditawarkan secara masif kepada publik oleh sebagian PIHK dengan iming-iming "jalur cepat" tanpa antrian belasan bahkan puluhan tahun seperti layaknya haji reguler.
Padahal, UU No. 8 Tahun 2019 secara tegas menyatakan bahwa siapapun warga negara Indonesia yang berangkat haji dengan visa mujamalah harus melalui PIHK yang memiliki izin resmi dan harus melaporkan kegiatannya ke Kementerian Agama.
Artinya, berdasarkan UU tersebut Negara tetap meletakkan tanggung jawab administratif pada PIHK, meski berada di luar sistem kuota.
Tapi anehnya, atau lebih tepatnya adalah “Sayangnya”, ketika skema ini gagal karena tidak diterbitkannya visa oleh Arab Saudi, jamaah tidak mendapatkan perlindungan, dan negara pun merasa tidak bisa turut campur.
Sungguh ini sebuah ironi dalam tata kelola haji kita yang kita harapkan sebagai tata kelola yang berkeadaban. Karenanya perlu dibahas dan dicarikan solusinya.
Perlu Kepastian Hukum dan Tanggung Jawab Moral
Gagalnya keberangkatan lebih dari 1.000 calon jamaah furoda pada tahun 2025 sesungguhnya bukan hanya mencoreng kredibilitas PIHK, tetapi harus diakui juga telah menimbulkan krisis kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan haji secara keseluruhan.
Lebih miris lagi, tidak sedikit dari mereka, para jamaah itu, adalah lansia yang menghabiskan dana ratusan juta rupiah yang mungkin mereka kumpulkan dari hasil penjualan tanah, warisan, atau tabungan seumur hidup.
Situasi ini menegaskan bahwa kita tidak bisa lagi menggantungkan skema furoda hanya pada logika business to business tanpa pengawasan dan kontrol negara.
Walaupun pemerintah Saudi memegang kewenangan penuh atas visa ini, bukan berarti negara boleh absen dari aspek perlindungan warga negara dan penataan penyelenggaraannya. Kita berharap ada skema solutif yang diprakarsai bersama antara negara dan PIHK.
Peran Strategis BP Haji dan Pemerintah Indonesia
Kehadiran BP Haji sebagai lembaga baru membawa harapan akan tata kelola yang lebih sistemik, profesional, dan berpihak pada kepentingan jamaah.
Apalagi Lembaga BP Haji ini merupakan cikal bakal lahirnya Kementerian haji yang kini banyak dirindukan publik.
Maka, pernyataan Ketua BP Haji tentang kemungkinan ditiadakannya kuota haji furoda tahun 2026 harus disikapi secara proaktif, bukan hanya sebagai informasi sepihak dari Saudi, tapi juga harus dijadikan sebagai momentum untuk menyusun kebijakan mitigasi risiko sejak awal.
Kami dari bidang litbang AMPHURI mencoba mengidentifikasi dan menginventarisasi sejumlah Langkah strategis untuk diusulkan kepada para pihak terkait. Beberapa langkah konkret yang menurut kami perlu dipertimbangkan antara lain:
Menyusun regulasi turunan atau protokol perlindungan bagi calon jemaah furoda, baik dalam bentuk standar perjanjian, jaminan refund, maupun edukasi publik.
Membangun komunikasi diplomatik resmi dengan Kementerian Haji Arab Saudi untuk mendapatkan kejelasan tentang arah kebijakan visa mujamalah, setidaknya enam bulan sebelum musim haji.
Melakukan audit menyeluruh terhadap PIHK yang menawarkan layanan furoda, termasuk mekanisme perekrutan, penempatan dana, hingga layanan pasca pembatalan.
Mengedukasi masyarakat agar tidak tergiur dengan iming-iming keberangkatan cepat, tanpa memahami risiko regulasi dan potensi kegagalannya.
Catatan Kritis untuk PIHK dan Calon Jamaah
Bagi PIHK, penting untuk menegaskan kembali niat dan etik bisnis: apakah semata-mata mengejar margin besar dari ongkos furoda yang bisa mencapai hampir Rp 1 miliar, ataukah benar-benar ingin melayani umat dengan penuh amanah?
Bagi calon jamaah, kehati-hatian adalah kunci. Jangan hanya tergoda oleh narasi “cepat dan eksklusif” tanpa memastikan keabsahan PIHK, legalitas skema, dan jaminan jika gagal berangkat.
Sebagaimana ibadah haji itu sendiri adalah panggilan, maka ikhtiarnya pun harus benar-benar dilakukan secara hati-hati, waspada dan sah secara hukum negara maupun hukum syari’ah.
Akhir Kata Sebagai Penutup
Haji furoda, sebagaimana pintu masuk ibadah lainnya, tetap menjadi peluang ibadah bagi yang mampu. Namun di tengah ketidakpastian global dan dinamika kebijakan Saudi, maka yang kita butuhkan bukan hanya harapan, tetapi kepastian hukum, perlindungan jamaah, serta koordinasi antarpemangku kepentingan.
Maka kami mengajak: Mari kita jadikan momentum ini sebagai refleksi bersama. Pemerintah harus hadir, PIHK harus bertanggung jawab, dan jamaah harus cerdas serta waspada.
Dengan demikian, penyelenggaraan ibadah haji, termasuk skema furoda, bisa menjadi ibadah yang mabrur tidak hanya di sisi Allah, tapi juga di hadapan kita semua sebagai ummat beragama dan bangsa yang berkeadaban.
Editor : Alim Perdana