Oleh: Ulul Albab
Pengajar Pendidikan AntiKorupsi
Ketua ICMI Orwil Jatim
KITA nyaris kehabisan kata. Ketika bangsa ini sedang berharap pada generasi muda untuk menjadi lokomotif perubahan, justru muncul berita yang menampar kesadaran kolektif kita: koruptor termuda Indonesia adalah seorang perempuan berusia 24 tahun.
Namanya Nur Afifah Balqis. Terlibat dalam korupsi miliaran rupiah, ia bukan hanya terlibat, tapi menjadi bagian aktif dari skema besar penyelewengan dana publik.
Sebagian masyarakat bereaksi dengan kaget. Sebagian lainnya mungkin sinis, karena toh korupsi seperti sudah menjadi “normal baru” dalam politik negeri ini. Tapi kita, sebagai bagian dari bangsa yang mencintai negeri ini dengan nurani, tidak bisa membiarkannya berlalu begitu saja.
Kasus ini bukan sekadar soal individu. Tapi adalah cerminan sistemik dari kegagalan membangun pagar moral, menyusun ekosistem integritas, dan menumbuhkan ruang aman bagi generasi muda untuk tumbuh tanpa terjebak godaan kekuasaan.
Di Mana Salah Kita?
Kita sering mempersiapkan generasi muda dengan kompetensi, tapi lalai menanamkan integritas. Kita mengajarkan strategi, tapi lupa membentuk jiwa. Kita berikan ruang akselerasi karier, tapi jarang menyediakan ruang pendampingan nilai.
Anak muda yang terlibat korupsi di usia muda bukan lahir dari ruang hampa. Ia dibentuk oleh budaya feodal yang masih langgeng dalam partai, pola relasi kuasa yang transaksional di parlemen, dan ekosistem sosial yang membenarkan pencitraan lebih dari substansi.
Mereka dibesarkan dalam dunia yang memuja hasil instan. Di luar, anak muda disuguhkan tokoh-tokoh viral karena gaya hidup mewah, bukan karena integritasnya. Maka jangan heran jika banyak yang ingin cepat kaya, dengan jalan apa pun.
Tanggung Jawab Bersama: Dari Rumah hingga Parlemen
Ini saatnya kita mengakui bahwa memberantas korupsi tidak cukup dengan Undang-Undang dan lembaga penegak hukum. Kita butuh ekosistem kejujuran yang hidup di keluarga, sekolah, organisasi, partai, dan komunitas digital.
Partai politik harus berani memulai kaderisasi berbasis nilai, bukan hanya loyalitas. DPRD dan lembaga publik harus membuka ruang partisipasi yang transparan, akuntabel, dan terbuka.
Di sisi lain, institusi pendidikan harus kembali menekankan etika sebagai pilar peradaban, bukan sekadar tambahan dalam kurikulum.
Dan tentu, kita sebagai orang tua, pengajar, dan pemimpin, harus memberi teladan, bukan hanya ceramah.
Kita Tidak Ingin Ada Nur Afifah yang Lain
Kita tidak sedang mencari kambing hitam. Kita sedang mencari cara agar ini menjadi pelajaran yang mahal dan tak diulangi.
Kita ingin generasi muda Indonesia tumbuh dengan karakter kuat, dengan keberanian untuk berkata “tidak” pada uang haram, dan kesiapan untuk memimpin dengan hati yang bersih.
Maka dari itu, mari kita akhiri tulisan ini dengan pantun:
Jangan salahkan bunda mengandung,
Tapi tanyalah ayahanda tiap malam ke mana.
Jangan risaukan gagasan yang diusung,
Tapi tanyakan kepada kita selama ini ke mana.
Semoga pantun ini tidak hanya menyindir, tapi juga menyadarkan. Bangsa besar tidak lahir dari slogan. Ia lahir dari keberanian untuk memperbaiki. Semoga kita menjadi bagian dari keberanian itu.
Editor : Alim Perdana