Mengakhiri Monopoli, Membangun Pelayanan Haji yang Prima

Oleh: Ulul Albab
Akademisi, Peneliti Transformasi Pelayanan Haji, Ketua ICMI Orwil Jawa Timur

SETIAP musim haji, publik menyaksikan berulangnya kisruh dalam penyelenggaraan ibadah haji: dari persoalan transportasi yang amburadul, akomodasi tidak layak, katering yang terlambat, hingga dugaan pungutan liar di lapangan. Semua ini terjadi bukan karena kurangnya sumber daya, melainkan karena belum tuntasnya reformasi kelembagaan.

Dalam sistem yang berlaku selama ini, Kementerian Agama memegang kekuasaan absolut: merumuskan kebijakan sekaligus menjalankan operasional. Hal ini menciptakan konflik kepentingan yang mengaburkan garis akuntabilitas dan menumpulkan inovasi.

Dari Kementerian ke Badan:Harus Tidak Sekadar Ganti Nama?

Pemerintah telah memutuskan untuk membentuk Badan Penyelenggara Haji (BPH) yang akan mengambil alih fungsi operasional haji dari Direktorat Jenderal PHU. Namun banyak pihak mempertanyakan, apakah ini sekadar alih struktur tanpa reformasi sistemik? Jika hanya memindahkan SDM dan budaya kerja yang sama ke lembaga baru, potensi stagnasi akan tetap besar.

Menurut Gause (2014), perubahan kelembagaan yang hanya bersifat kosmetik tidak akan menghasilkan dampak nyata bila tidak diiringi reformasi nilai, mekanisme kerja, dan indikator kinerja yang terukur.

Lebih dari itu, praktik pelayanan publik yang baik harus menjunjung prinsip good governance: pemisahan fungsi regulator dan operator, transparansi, partisipasi, dan evaluasi berbasis kinerja (Osborne, 2006; Bovens, 2007). Dalam hal ini, model tata kelola pelayanan haji perlu ditransformasikan menuju sistem yang lebih terbuka dan kompetitif.

Perlu Peran Swasta?

Dalam banyak negara Muslim, pelibatan pihak swasta dalam layanan haji bukan hal baru. Arab Saudi sendiri membuka sektor-sektor operasional (termasuk transportasi, katering, dan akomodasi) melalui sistem tender yang kompetitif, diawasi secara digital dan berbasis KPI. Kunci keberhasilannya ada pada dua hal: transparansi dan pengawasan yang ketat.

Studi Basabih et al. (2022) menunjukkan bahwa dalam kemitraan publik- swasta (Public–Private Partnership atau PPP), inovasi dan efisiensi meningkat secara signifikan ketika kontrak disusun secara adil, risiko dibagi, dan evaluasi dilakukan oleh lembaga independen.

Sebaliknya, tanpa kerangka hukum dan kelembagaan yang kuat, PPP berisiko melahirkan praktek rente dan inefisiensi baru.

Mekanisme partisipasi swasta dalam layanan haji harus dimulai dengan membuka akses penyelenggaraan haji reguler secara terbatas dan bertahap. Bukan sebagai privatisasi, melainkan sebagai jalan menuju layanan yang kompetitif dan pilihan layanan yang lebih beragam bagi jamaah. Menurut prinsip ekonomi klasik, “kompetisi melahirkan inovasi, dan inovasi menciptakan pelayanan yang prima.”

Rekomendasi Strategis

Untuk menciptakan lompatan pelayanan haji ke depan, berikut lima rekomendasi kunci:

1. Pisahkan peran regulator dan operator secara tegas. BPH harus berdiri sebagai lembaga operator profesional yang tidak membuat kebijakan, sementara Kemenag menjadi regulator dan evaluator murni.

2. Buka ruang partisipasi swasta dalam layanan haji reguler, dimulai dari sektor non-inti seperti katering, transportasi, hingga penyediaan hotel, dengan sistem tender terbuka dan audit digital.

3. Bangun sistem transparansi data dan keuangan berbasis digital, mulai dari pembiayaan, kontrak, sampai pelaporan real-time kepada publik dan DPR.

4. Libatkan perguruan tinggi, asosiasi profesional, dan media dalam mekanisme evaluasi dan pelaporan berkala terhadap layanan haji, sebagaimana model penta helix dalam tata kelola publik (Maolani et al., 2023).

5. Jadikan indeks kepuasan jamaah sebagai indikator kinerja utama, dengan melibatkan lembaga survei independen dan membuka ruang umpan balik jamaah secara luas.

Dari Penuh Kisruh ke Layanan Prima

Sudah saatnya orientasi penyelenggaraan haji bergeser dari birokrasi rente ke layanan prima. Haji bukan proyek rutin, tetapi amanat kepercayaan umat yang suci. Pemerintah tidak boleh memberi peluang bahwa haji sebagai lahan untuk memperkaya segelintir orang.

Pemerintah harus memandang pelayanan haji sebagai ruang ibadah yang menuntut integritas dan profesionalisme tertinggi.

Keterlibatan swasta yang transparan dan pengawasan yang ketat bukan ancaman, tetapi jalan menuju pelayanan yang lebih baik. Jika bangsa ini serius menyambut Indonesia Emas 2045, maka haji adalah salah satu cerminnya: seberapa beradab dan bertanggungjawab kita dalam mengelola ibadah umat.

Editor : Alim Perdana