KOTA SURABAYA yang saat ini dipimpin Wali Kota Eri Cahyadi baru saja merayakan ulang tahunnya ke-732, pesta pora, baliho, dan gegap gempita mewarnai sudut-sudut kota.
Namun, ada satu sudut yang luput dari sorotan, satu tempat yang seharusnya menjadi titik hening penuh hormat: makam Wali Kota Surabaya pertama, dr Radjamin Nasution.
Alih-alih megah, berpenanda kokoh, atau sekadar bersih dan terawat, makam beliau nyaris luput dari perhatian. Tak ada plakat, tak ada penunjuk arah, tak ada bunga. Yang ada hanya keheningan dan tanda tanya: benarkah kota ini mengenang peletak pondasinya?
Ironisnya, yang justru menyingkap kisah ini bukanlah lembaga resmi pemerintah, bukan pula dinas sejarah atau kebudayaan. Adalah Forkom Jurnalis Nahdliyin—kelompok wartawan berlatar Nahdlatul Ulama—yang memilih hari ulang tahun Surabaya untuk menziarahi dan mengangkat kembali jejak sang Wali Kota. Sementara kota berpesta pora, mereka menunduk hening di pusara yang nyaris dilupakan.
Sebuah kota besar, megapolitan bahkan, tak selalu besar dalam ingatan. dr Radjamin Nasution barangkali bukan tokoh yang ramai dijadikan nama jalan atau ikon branding kota, tetapi beliau adalah wali kota pertama—tonggak sejarah yang seharusnya ditopang, bukan dilupakan.
Hari jadi kota seharusnya bukan hanya soal seremonial, tapi juga momen menengok ke belakang. Agar langkah ke depan tak kehilangan arah. Dan bagaimana bisa melangkah mantap, jika bahkan kubur sang perintis pun tak sanggup kita rawat?
Ini bukan sekadar soal batu nisan. Ini soal nurani kota.
Prof. Dr. MOH MUKHROJIN, SH, S.Pd.I, S.A.P, SA.P, M.Si
GURU BESAR ASEAN UNIVERSITY INTERNATIONAL (AUI) MALAYSIA
KETUA LAZISNU PCNU SURABAYA
KETUA UMUM MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) KECAMATAN SUKOLILO
Editor : Diday Rosadi