Kartini dalam Lintas Zaman: Memaknai Emansipasi Perempuan di Era Modern

Kartini Djojoadhiningrat atau dikenali juga dengan gelarnya sebagai Raden Ayu Adipati Kartini atau Raden Ajeng Kartini. Foto: Wikipedia
Kartini Djojoadhiningrat atau dikenali juga dengan gelarnya sebagai Raden Ayu Adipati Kartini atau Raden Ajeng Kartini. Foto: Wikipedia

SETIAP 21 April, perempuan Indonesia mengenakan kebaya. Mereka berfoto, berbagi di media sosial, dan menyebut nama Kartini. Tapi di luar perayaan dan parade budaya, nyaris tak ada yang sungguh-sungguh bertanya: apa yang sebenarnya diperjuangkan Kartini? Dan yang lebih penting: apakah kita masih berada di jalan yang ia tunjukkan?

Dari Surat ke Terang

Lebih dari seratus tahun lalu, di Rembang yang sunyi, seorang perempuan Jawa menulis surat-surat penuh gelisah. Dalam bahasa Belanda yang fasih, ia bertanya: Mengapa perempuan dilarang berpikir? Mengapa mereka tidak punya masa depan selain pernikahan?

Raden Ajeng Kartini bukan pejuang jalanan. Ia juga bukan aktivis feminis dalam pengertian modern. Ia adalah anak bangsawan yang hidup dalam cengkeraman adat dan dogma, tetapi justru dari ruang sempit itu, pikirannya melompat jauh ke masa depan.

Yang jarang dikisahkan, Kartini bukan hanya pembaca Roman Belanda dan filsafat Eropa. Ia juga haus akan Islam yang tercerahkan. Kepada Snouck Hurgronje, ia bertanya: “Bagaimana saya bisa mencintai Islam, jika saya tak pernah diajari maknanya?”

Kartini akhirnya bertemu Kiai Soleh Darat, yang mengajarinya tafsir surat Al-Fatihah. Di situlah kesadarannya berpindah: Islam bukan sumber keterbelakangan perempuan—tetapi bisa menjadi cahaya pembebas, jika diajarkan dengan hikmah dan ilmu.

Antara Kartini dan Feminisme Kekinian

Kini, emansipasi menjadi kata yang kehilangan ruh. Perempuan tampil di ruang publik, menjadi menteri, jenderal, pengusaha, bahkan presiden. Namun di saat yang sama, angka kekerasan seksual meningkat, anak perempuan putus sekolah karena kemiskinan, dan tubuh perempuan menjadi objek pasar dalam media digital.

Di sinilah ironi itu muncul. Kita merayakan emansipasi tanpa benar-benar membebaskan. Perempuan diberi panggung, tapi tanpa sistem yang melindungi martabatnya. Ia disuruh kuat, tapi tetap dibebani norma ganda.

Kartini tak pernah memimpikan perempuan yang melawan laki-laki. Ia ingin perempuan merdeka dalam berpikir, beradab dalam bertindak, dan terdidik dalam iman. Ini bukan feminisme sekuler, tapi emansipasi yang bertumpu pada akal dan adab—dua hal yang kini justru makin langka dalam diskursus perempuan.

Jalan Sunyi Emansipasi Spiritual

Dalam literatur Islam klasik, emansipasi tidak pernah berarti kebebasan absolut. Tapi lebih kepada kemerdekaan dari kebodohan, keterbelakangan, dan ketertundukan pada sistem yang menindas. Di sinilah Islam bertemu Kartini.

Dalam tafsir modern, seperti yang dikembangkan oleh Prof. Quraish Shihab atau Siti Musdah Mulia, perempuan diberi ruang setara dalam penciptaan, tanggung jawab moral, dan pembangunan peradaban. Tapi setara tidak berarti sama. Perempuan tetap membawa suara hati, yang tak kalah penting dari logika kuasa.

Masalahnya, arus globalisasi dan kapitalisme budaya hari ini membuat nilai-nilai itu tenggelam. Perempuan diukur dari kulit, ukuran tubuh, atau followers Instagram. Ruh Kartini yang dulu ingin mencerdaskan jiwa, kini digantikan oleh citra tanpa makna.

Menyusun Ulang Narasi Kartini

Jika Kartini masih hidup hari ini, barangkali ia akan bertanya: mengapa emansipasi berhenti di layar, tidak sampai ke sekolah-sekolah desa? Mengapa masih banyak anak perempuan tak bisa kuliah karena kemiskinan? Mengapa undang-undang perlindungan perempuan digugat, padahal kekerasan makin menggunung?

ICMI percaya, emansipasi harus dikembalikan ke jalur yang benar: pendidikan, nilai moral, dan pemberdayaan spiritual. Emansipasi tidak berhenti di kesetaraan posisi, tetapi pada kualitas manusia yang dibentuk. Dan ini hanya bisa dicapai dengan membangun kesadaran kolektif bahwa perempuan bukan hanya pelengkap, tapi pemikul tanggung jawab sejarah.

Penutup

Kartini adalah simbol. Tapi simbol bisa mati jika hanya diperingati tanpa dimaknai. Ia menulis dalam keterbatasan, tapi suaranya mengguncang zaman. Hari ini, kita memiliki semua perangkat: teknologi, kebebasan politik, akses informasi. Tapi justru kehilangan arah perjuangan.

Saatnya kembali ke Kartini. Bukan untuk kembali ke masa lalu, tetapi untuk menghidupkan gagasan tentang perempuan muslimah yang merdeka secara pikiran, bersinar dalam ilmu, dan tangguh dalam iman.

Sebab emansipasi sejati bukan tentang siapa yang paling keras bersuara, tapi siapa yang mampu melahirkan generasi yang lebih cerdas, bermartabat, dan penuh kasih.

Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur

 

Editor : Alim Perdana