Indonesia Alami Deflasi Tahun Pertama dalam Dua Dekade, Apa Dampaknya?

ISHG hari ini pada 14 Maret 2025, pukul 16.00 WIB. Foto/Tangkapan Layar
ISHG hari ini pada 14 Maret 2025, pukul 16.00 WIB. Foto/Tangkapan Layar

SURABAYA - Untuk pertama kalinya dalam lebih dari 20 tahun, Indonesia mengalami deflasi tahunan sebesar 0,09 persen.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), fenomena ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk diskon tarif listrik dan penurunan harga komoditas pangan utama seperti beras, tomat, dan cabai merah.

Prof. Dr. Sri Herianingrum, SE, M.Si, pakar ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (UNAIR), menjelaskan bahwa deflasi ini bisa menjadi indikator perlambatan ekonomi. Data BPS menunjukkan deflasi bulanan sebesar 0,76 persen pada Januari 2025 dan 0,48 persen pada Februari 2025.

“Data untuk Maret masih menunggu rilis pada April, terutama karena dampak Ramadan yang biasanya memicu inflasi. Sebagai perbandingan, pada Ramadan 2023 terjadi inflasi sebesar 0,16 persen, sementara pada 2024 meningkat menjadi 0,52 persen,” jelas Prof. Sri.

Salah satu penyebab deflasi adalah kelebihan pasokan (oversupply) beberapa komoditas primer seperti minyak goreng dan telur. Menurut Prof. Sri, kondisi ini terjadi karena produk-produk tersebut tidak terserap sepenuhnya oleh pasar, sehingga harga turun signifikan.

“Contohnya, harga telur yang sempat mencapai Rp29.000 per kilogram pada Desember 2024, turun drastis sekitar 30 persen setelah tahun baru. Penurunan daya beli masyarakat terlihat jelas, terutama di pasar tradisional yang biasanya ramai menjelang buka puasa, namun kini lebih sepi dibandingkan tahun sebelumnya,” ungkapnya.

Risiko Jangka Panjang Deflasi

Deflasi yang berlangsung lama dapat menandakan penurunan permintaan yang signifikan, yang berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi. Ketika daya beli melemah, transaksi ekonomi berkurang, dan produsen kesulitan menjual barang. Hal ini dapat berujung pada pengurangan produksi hingga pemutusan hubungan kerja (PHK).

Jika tren ini terus berlanjut, deflasi bisa menjadi peringatan bagi pemerintah untuk segera mengambil langkah strategis.

Prof. Sri menekankan pentingnya kebijakan moneter dan fiskal yang tepat untuk mengatasi deflasi. Dari sisi moneter, pemerintah dapat meningkatkan jumlah uang beredar melalui penurunan suku bunga untuk mendorong aktivitas di sektor riil.

“Sementara itu, kebijakan fiskal perlu difokuskan pada peningkatan daya beli masyarakat dan dukungan terhadap sektor UMKM. Pemerintah juga harus memastikan bahwa investasi yang dilakukan memiliki dampak langsung terhadap pemulihan ekonomi, bukan justru membebani anggaran negara,” tuturnya.

Selain itu, Prof. Sri juga menyoroti faktor ketidakpastian pasca-pemilu yang memengaruhi perilaku belanja masyarakat. Banyak orang memilih untuk menahan pengeluaran karena minimnya kepastian ekonomi, baik akibat keterbatasan dana maupun kekhawatiran terhadap kondisi keuangan di masa depan.

“Oleh karena itu, kebijakan stimulus yang lebih intensif diperlukan agar roda perekonomian dapat kembali bergerak dan kepercayaan masyarakat terhadap pasar kembali pulih,” pungkasnya.

Editor : Alim Perdana